Yang Miskin : Ditendangi atau Diperangi?


Created At : 2016-10-14 01:30:34 Oleh : Budiono Berita Terkini Dibaca : 620

Jika cinta dan kesetiaan tidak menyatu, pikirkan pilihannya?. Jika  mencintai ‘harta’ maka setiaanya sampai ‘mati’. Maksudnya, orang mati tidak bisa membawa serta hartanya. Jika mencintai anak–istri, setianya sampai ‘liang kubur’.  Maksudnya, jika hamba Allah dikubur, anak–istrinya, tidak ikut masuk liang kubur. Jika kamu mencintai/menyantuni orang miskin, maka kesetiannya akan terbawa ke alam baqa. Pahala dan do’anya yang terus mengalir, menjadi bekal menuju surga. Demikian disampaikan Kepala Bappeda pada rakor TKPKD (Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah).

Pilihan yang tidak mudah. Harta, keluarga atau surga?. Untungnya ‘clue’ atau kiat untuk memilih, disampaikan pak Gie, dalam forum lain. Prinsipnya,  diantara tiga hal (harta, keluarga atau surge) tidak terap kaidah substitusi, atau saling meniadakan (trade-off). Kiatnya, pilih tujuan akhir. Seumpama, mau punya sapi tidak perlu beli ‘tali pengikatnya’ (tambang /dhadhung) dulu, baru kapan-kapan beli sapi, tetapi langsung saja beli sapi. Jika sapi yang dibeli maka ‘dhadhung’ pasti diberikan.

Semua umat beriman sepakat, tujuan akhir semua hamba allah, menuju ke alam keabadian, dan bahwa hidup di dunia ini sekedar ‘mampir ngombe’. Maka dalam kehidupan yang sekejap ini, himpunlah bekal menuju kehidupan abadi. Caranya, mencintai anak yatim dan meyantuni orang miskin, maka urusanmu terkait harta dan keluarga akan terselesaikan dengan sendirinya. Oke, terserah anda, mau menekuni TKPKD atau masih tetap focus pada SPPD?

Janji surgawi ini bagian dari usaha motivasi diberikan Kepala Bappeda, mengingat kemajuan penanggulangan kemiskinan yang sangat lambat. Pada tahun 2011 sebesar 15,18%; tahun 2012 menjadi 13,97%; tahun 2013 mencapai 13,96% dan tahun 2014 masih 12,98%. Jika dibuat garis lurus maka setiap tahun hanya turun 0,55 persen.

Sementara target RPJMD pada tahun 2019 kemiskinan harus turun menjadi 8 persen. Oleh karena itu 3 tahun yang tersisa, setiap tahun sebesar 166 persen. Dengan demikaan harus dilakukan percepatan 3 hingga 4 kali lipat dari upaya penanggulangn kemiskinan yang ada saat ini. Dengan kata lain, jika penurunan kemiskinan selama ini dianggap terkait dengan program gulkin, berupa: dana, metode, dan tenaga kerja, maka segala upaya pengentasan itu harus dibuat lipat 3-4 kali.

Upaya percepatan ini, antara lain, ditempuh melalui perencanaan kegiatan   yang ‘tepat sasaraanya dan tepat program/kegiatannya’. Program/kegiatan serba tepat ini, dibuat metafora sepakbola, yaitu tendangan 12 pas, atau tendangan penalty.

Tendangan penalti adalah metode menendang dalam pertandingan sepak bola, yang dilakukan dari titik penalti berjarak 11 meter menuju gawang. Tendangan penalti dilakukan selama permainan berlangsung. Hal ini diberikan ketika pelanggaran dengan hukuman tendangan bebas terjadi dalam area penalti. Tendangan yang sama yang dibuat dalam adu penalti di beberapa sistem kompetisi untuk menentukan tim pemenang setelah pertandingan berakhir imbang (Wikipedia).

Oleh karena itu, pada system kompetisi peluang untuk mendapatkan tendangan penalty sangat sedikit. Misalnya, dalam kompetisi liga primer Inggris, pencipta gol terbanyak, Hari Kane yang mengumpulksn 25 gol, yang hasil penalty hanya 5 gol atau 20 persen.

Menendang penalty tidak semudah yang diduga. Walaupun satu-satunya penghalang adalah ‘penjaga gawang’. Drama final piala Amerika 2016, Leonel Mesi pemain terbaik dunia gagal menendang penalty. Demikian juga pada final Piala Dunia 1994 dari Italia, Roberto Bagio tendangannya melambung diatas mistar.

Metapora pertandingan sepak bola hanya salah satu, di tempat lain program penanggulangan kemiskinan ini diumpamakan ‘perang’. Perang melawan kemiskinan dicanangkan Presiden LBJ 52 tahun yang lalu, dimana serangan diarahkan pada kurangnya kesempatan kerja, perumahan buruk  dan pendidikan yang tidak memadai. Kemiskinan digambarkan sebagai krisis sosial, perjuangan dan penderitaan di tengah lautan kemakmuran (In the Long War on Poverty, Small Victories That Matter, by David Bornstein: NYT, Jan 8 2014). Jika penanggulangan kemiskinan itu ‘seumpama perang’ siapa musuhnya?

Musuh orang miskin.

Dalam perang berkelanjutan (the Long War on Poverty), yang tidak jelas kapan dan bagaimana hasil akhirnya ini orang miskin setidaknya berhadapan dengan ‘tiga musuh’ (Paul Krugman: Enemies of the Poor, NYT JAN. 12, 2014).

Musuh nomor 1 adalah penyelenggara Negara yang masih berpola berpikir (mindset) bahwa segala upaya untuk membantu/menyantuni itu sesungguhnya sama dengan mengekalkan kemiskinan, karena mereduksi minat kerja (malas). Klaim bahwa bansos memupuk sifat malas ini tergolong sesat nalar, karena tidak didukung riset dan faktanya yang tergolong miskin ini bukan termasuk angkatan kerja. Mayoritas golongan miskin yang bukan angkatn kerja: usia lanjut, difabel dan anak usia sekolah.

Musuh nomor 2 adalah para pendukung idea pembatasan kewenangan pemerintah. Bagi nomor 2 ini pemerintah dilarang ikut mengatur ekonomi, termasuk perlindungan tenaga kerja dan pelestarian lingkungan (akibat industry polutif)

Musuh nomor 3 adalah mereka yang mendukung penetapan pajak yang rendah bagi warga berpendapatan tinggi/kaya. Argumennya, uang pajak yang tidak jadi dikutip, di tangan pengusaha akan menjadi tambahan modal investasi, dan selanjutnya membuka lapangan kerja. Riset menunjukkan bahwa pembebasan pajak ini hanya menunjang gaya hidup pengusaha yang mewah.

Kebijakan pajak rendah ini mengakibatkan kemampuan Negara untuk membantu dan menyantuni warga miskin sangat terbatasi. Jadi pajak rendah itu sesungguhnya menyakiti, bukan menolong, warga miskin.

Musuh nomor 4 adalah segenap penyelenggara pemerintahan daerah yang menghalangi terlaksanakan program-program pemerintah pusat. Masuk dalam golongan ini adalah barang siapa menghambat dan mengganggu (AGHT) terlaksananya dana yang diberikan /ditranfer dari pemerintah pusat, berupa: DAK (dana alokasi khusus), dan DAU (dana alokasi umum), yang pada akhirnya membesarkan sisa lebih perhitungan anggaran (SILPA).

Harian Kompas (23 Februari 2016) menulis berita ‘Dana Pemerintah Daerah yang Mengendap di Bank Meningkat’ dengan narasumber Direktur Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemkeu) Boediarso Teguh Widodo yang mengatakan, per 31 Januari 2016 lalu, jumlah dana tersebut mencapai Rp 180,71 triliun. Kira-kira setara dngan APBD Kab. Magelang selama 90 tahun.

Penghambatan terlaksananya program pemerintah pusat ini disatu sisi menihilkan manfaat (benefit) yang akan diterima warga masyarakat, yang kedua meniadakan dampak stimulant pada saat kontruksi dan instalasi. Perlu dihaturkan bahwa implementasi dana pemerintah pusat pada saat kontruksi saja bisa mendongkrak permintaan di daerah berupa material, jasa dan tenaga kerja.

Dampak ekonomi pelaksanaan program pusat bagi daerah sama dengan dampak yang ditimbulkan oleh pariwisata yaitu net export. Artinya, ada dana yang masuk tanpa disertai dengan perpindahan barang/jasa sebagai imbalannya. Dalam persamaan ekonomi sederhanya peristiwa DAK dan DAU sama dengan bertambahnya pasokan uang (money supply), yang meningkatkan daya beli dan selanjutnya meningkatkan harga dan jumlah barang dan jasa yang diproduksi masyarakat. Bukankah, meningkatnya jumlah barang dan jasa yang diproduksi da dikonsumsi masyarakt ini yang disebut semakin sejahtera?.

Bentuk AGHT (ancaman, gangguan, hambatan dan tantangan) adalah pola pikir ‘bagito’. Pada tahap pelaksana bantuan untuk orang miskin dibagi rata kepada semua warga, termasuk yang tidak masuk dalam ‘basis data terpadu’. Yang legendaris masuk jebatan bagito ini adalah raskin. Namun yang berdampak lebih luas dan pedih adalah BOS (biaya operasional sekolah). Normanya BOS ini untuk siswa miskin. Faktanya, penerima manfaat BOS ini tidak ada prioritas. Apa tidak bisa siswa miskin didahulukan  atau unda-undi dengan siswa dari kelurga mampu?. Ingat bahwa ‘pendidikan’ adalah gunting yang tertajam untuk memotong rantai belenggu kemiskinan. 

Apa strateginya?

Memberi ikan, atau memberi pancing, atau memberi perahu dan jala adalah tiga strategi yang teramat dikenal oleh para penggiat gulkin. Ikan, pencing dan perahu adalah nama beken untuk tiga strategi gulkin untuk sasaran pada tiga kluster, yaitu bantuan social (ikan) untuk klaster 1, pemberdayaan (pancing) untuk klaster 2, dan pengembangan UMKM (perahu) untuk klaster 3.  

Strategi Presiden Obama adalah dengan membuka dua medan pertempuran untuk memerangi kemiskinan. Medan pertama disebut redistribusi, dan medan kedua disebut predistribution. Redistribusi adalah pengenaan pajak bagi warga berpendapatan tinggi dan memberi bantuan bagi keluarga dengan pendapatan rendah. Predistribusi, memperkuat daya tawar pekerja yang diupah rendah dan membatasi peluang kapitalis untuk meraup untung sebesar-besarnya (Paul Krugman: Obama’s War on Inequality, NYT: May 20, 2016). Yang mau menang perang ya buka dua medan tempur ini.

Siapa pemenangnya?

Ternyata pemenangnya adalah ‘kemiskinan’, menurut Presiden Ronald Reagan 1987 yang terkenal  dengan sindirannya: "Pada tahun enam puluhan kami mengobarkan perang terhadap kemiskinan , dan kemiskinan  yang menang (How Poor Are the Poor?, NYT: March 25, 2015).

            Gelar kampium/pemenang pernah disematkan kepada Walikota New York (Bloomberg, Champion of the Poor, by Michael B. Katz, Published: November 5, 2013), bukan karena berhasil menurunkan angka kemiskinan, tetapi karena program-program yang dilaksanakan. Pada masa baktinya angka kemiskinan justru meningkat dari 20,10% menjadi 21,20%.

Pak Wali dapat mendobrak keterbatasan strategy investasi modal insani dan yang berbasis pasar. Kampium diberikan karena berhasil dalam: - penajaman sasaran gulkin: buruh miskin, remaja usia 16 – 24 tahun, dan keluarga yang mempunyai anak usia dibawah 6; - menggandeng kerjasama swasta–pemda (public-private initiative), dimana partisipasi swasta mencapai setengah sebutuhan dana gulkin; -merangkul universitas dan menyantuni mahasiswa dari keluarga miskin miskin, yang mengambil kuliah pada bidang studi tertentu; memberi hadiah pada keluarga yang membelanjakan BLT untuk kesehatan dan pendidikan. Ada lima program yang direflikasi pada tingkat nasional, maupun kebupaten/kota.

Jika ingin meniru kemenangan seperti Pak Wali ini bisa dilakukan melalui perluasan dan perkuatan program penjaminan social, penciptaan lapangan kerja melalui belanja infrastruktur, dan program yang dirancang agar si miskin memperoleh sumber pendapatan.         

Pemenang hadiah Nobel bidang ekonomi tahun tahun 2015 diraih ahli kemiskinan, yaitu Professor Angus Deaton dari Universitas Princeton (Poverty expert wins Nobel prize in economics, Fortune: October 12, 2015). Nobel diberikan kepada Deaton untuk analisis tentang konsumsi, kemiskinan, dan kesejahteraan.

 Konsumsi juga dijadikan sebagai pengukur tingkat kemiskinan. BPS  mengukur kemiskinan menggunakan pendekatan pengeluaran, di mana kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan. (Penduduk Miskin dan Pemerataan Pendapatan Kabupaten Magelang Tahun 2013, hal. 6).

Berhenti berpikir, perintah Jenderal Naga Bonar kepada anak buahnya yang meminta Naga Bonar mematuhi perjanjian gencatan senjata dengan menunjukkan lokasi markas. Menurut jenderal, Belanda tidak bisa dipercaya dan tidak punya hak. Berhenti berpikir juga diperintahkan kepada barang siapa pengemban amanan gulkin, karena segala regulasi, juklak dan juknis sudah terang benderang, sekarang waktunya bertindak bekerja dan bekerja.  *perencana madya Bappeda Kab. Magelang.
GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara