RPK Untuk Mengendalikan Inflasi


Created At : 2016-10-14 01:33:31 Oleh : Budiono Berita Terkini Dibaca : 589

RPK, yang bukan resimen para komando yang dikomandani Jendral Sarwo Edy Wibowo, yang sangat mashur itu, yang pernah ganti nama Kopasandha, dan sekarang menjadi Kopasus. Tetapi yang dimaksud RPK adalah rumah pangan kita, program stabilisasi harga oleh Bulog, menjadi sentral dalam rakor tim penanggulangan inflasi daerah atau disingkat TPID di ruang wakil bupati, tanggal 15 September 2016.

RPK atau rumah pangan kita adalah program Bulog dalam rangka menekan gejolak harga barang kebutuhan pokok atau sembako, caranya dengan menjual barang tersebut sesuai nilai produksi. Misalnya, gula pasir dijual Rp. 13 ribu/kg, sementara harga pasarnya Rp. 16.000 s.d 17.000 /kg. Konsumen bisa langsung belanja di RPK ini dengan jenis dan jumlah barang tidak dibatasi. Bulog mengundang bagi yang berminat wirausaha, dengan jalan bermitra untuk mebuka RPK di tempat usahanya. Syaratnya, sangat sederhana namun kualitas dan harga sesuai ketentuan Bulog. Gayung bersambut. Dinas Pasar memberi informasi adanya beberapa kios yang masih kosong di beberapa pasar.

Inflasi adalah angka yang menggambarkan perubahan (dalam persentase) indeks harga konsumen (IHK) yang terjadi pada suatu periode waktu dengan periode waktu sebelumnya. Sedang yang dimaksud dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) adalah angka Indeks yang menggambarkan perubahan harga barang/jasa yang dikonsumsi masyarakat secara umum pada suatu periode waktu dengan periode tertentu yang telah ditetapkan (Biro Pusat Statistik).

Angka inflasi nasional 3,35 persen; Provinsi Jawa Tengah 2,7 persen; dan Kab. Magelang 3,6 persen. Sementara targat inflasi nasional 4±1, ya kira-kira 3 hingga 5 persen. Atas prestasi menurunkan inflasi hingga 2,7 persen gubernur Jateng mendapatkan penghargaan dari pemerintah pusat. Penghargaan yang salah sasaran, karena pencapaian indikator inflasi bukan serendah rendahnya tetapi ’expected’ atau yang sesuai harapan.

Apa rencanannya?.

Banyak gagasan yang muncul dalam rakor TPID ini antara lain perlunya operasi pasar, subsidi distribusi (sebagaimana yang dilaksanakan Provinsi Jawa Timur), buffer stock, dan tentu saja penyebaran RPK. Semua gagasan ini agar terwujud perlu masuk dalam dokumen rencana dan penganggaran. Inilah tugas Bappeda.

Jawaban standar dari Bappeda adalah ikuti mekanisme perencanaan dan penganggaran. Periksa apakah semua gagasan tersebut telah terwadahi dalam program renstra atau rencana strategis SKPD?. Jika jawabannya: sudah terwadahi, masukkan jabarkan program tersebut ke dalam rencana kerja atau renja SKPD. Renja SKPD akan dihimpun oleh Bappeda dijadikan bahan menyusun RKPD atau rencana kerja pemerintah daerah. Setelah RKPD tersusun dijadikan bahan menyusun KUA/PPA yang bahas dan ditetapkan bersama DPRD.

Edukasi juga dilakukan Bappeda terkait pemahaman dasar ekonomi makro, termasuk inflasi. Agar, sebagaimana pesan Kepala Bappeda Drs. Sugiyono, Msi., dalam penyusunan rencana tidak ngarang dan tidak ngawur. Rencana tergolong ngarang, jika tidak didukung oleh data. Sementara yang ngawur, golongan orang yang menganalisa data tanpa memakai metode, teori atau model.  

Edukasi disampaikan terkait sambutan pengarahan yang menyatakan bahwa untuk mengendalikan inflasi perlu dilakukan percepatan realisasi/pencairan anggaran. Ini keblinger.

            Realisasi anggaran yang dibelanjakan untuk pembelian barang dan jasa (upah, honor, gaji) sama artinya dengan menambah jumlah uang beredar atau money supply. Mengingat sumber pendapatan dalam APBD sebagian besar atau 90 persen berasal dari pemerintah pusat, sementara pendapatan asli daerah hanya sekitar 10 persen, maka realisasi APBD bisa disamakan dengan bertambahnya jumlah uang beredar. Dalam teori dasar untuk menghitung inflasi yaitu the quantity of money theory yaitu jumlah uang beredar (M) dikali kecepatan uang beredar (V) sama dengan harga dikalikan jumlah barang dan jasa (Y), dinyatakan dalam notasi (M.V = P.Y), dijelaskan bahwa jika M meningkat maka P meningkat, karena V dan Y konstan. Teori ini terap dalam jangka penjang. Dalam jangka pendek realisasi anggaran meningkatkan inflasi melalui mekanisme tarikan permintaan (demand-pull inflation).

Dalam hal ini realisasi anggaran untuk membayar barang dan jasa, dan dengan demikian tingkat pengangguran rendah. Belanja barang/jasa oleh pemerintah ini terkonversi menjadi ’pendapatan/penghasilan atau income’ bagi individu warga masyarakat, yang sama artinya dengan bertambahnya daya beli atau permintaan (demand). Dalam pelajaran ekonomi paling dasar, dinyatakan bahwa jika permintaan meningkat sementara para produsen tidak cepat kilat bisa menambah jumlah barang dan jasa yang dijual (supply), maka harga akan naik. Kenaikan harga inilah yang disebut inflasi.

Memang bisa saja inflasi itu timbul oleh kenaikan biaya produksi (cost-push inflation), misalnya kenaikan harga BBM. Namun, jika yang terjadi inflasi yang karena dorongan biaya ini, maka akan diikuti dengan menurunnya jumlah barang-jasa yang diproduksi, yang akan terlihat dari melambatnya pertumbuhan ekonomi. Data agregat tidak pernah memaparkan pertumbuhan ekonomi negatif. Hal ini bisa didiskusikan di lain kesempatan, sekarang kembali ke topik ’kaitan realisasi anggaran dengan inflasi.  

Maka jangan terlalu alergi dengan inflasi, karena seringkali inflasi itu datangnya dari suasana yang menyenangkan, yaitu tambahnya jumlah uang dalam saku warga masyarakat yang siap dibelanjakan.

Mengetahui, tingkat harga yang lebih tinggi, pada tahap selanjutnya ’produsen’ akan menambah barang/jasa yang dihasilkan. Bertambahnya barang dan jasa inilah yang disebut pertumbuhan ekonomi. Inilah logika yang mendasari kebijakan pemberian stimulus ekonomi.

Untuk memproduksi barang/jasa yang lebih banyak ini para pengusaha akan menambah jumlah tenaga kerja. Maka dalam kondisi inflasi tinggi tingkat pengangguran rendah, sebagaimana dijelaskan dalam Kurva Philiph. Jadi agar mesin ekonomi bisa bekerja lebih baik, menuju masyarakat yang lebih makmur, dalam arti lebih banyak barang/jasa yang diproduksi dan dikonsumsi, maka inflasi adalah pelumasnya. Oleh karena itu barang siapa bicara inflasi tanpa mengacu pada kurva philip patut diduga satu rumpun dengan Mukidi. *perencana madya di bappeda.

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara