Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Peserta Didik Pembelajaran IPS Melalui Metode Problem Solving Berbantuan Media Informasi


Created At : 2017-12-29 00:00:00 Oleh : Nurhesti, SE, MPd Berita Terkini Dibaca : 4200

PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan unsur terpenting dalam pembentukan watak dan kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan, suatu bangsa akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang memungkinkan untuk memajukan bangsanya. Untuk melaksanakan pendidikan, setiap negara memiliki sistem pendidikannya sendiri yang disesuaikan dengan kepribadian dan tujuan nasional negara tersebut. Demikian juga Indonesia yang mengatur sistem pendidikan nasionalnya dalam   Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).

Fungsi pendidikan menurut Pasal 3 UU Nomor 20 (2003, p. 4) adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (2006, p. 5) menetapkan setiap kelompok mata pelajaran memiliki cakupan masing-masing. Untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi pada SMP/MTs/SMPLB, dalam hal ini termasuk IPS, cakupannya adalah “...untuk memperoleh kompetensi dasar ilmu penge-tahuan dan teknologi serta membudayakan berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri.

Dengan dasar tersebut maka sudah seharusnya pembelajaran IPS diarahkan pada penguasaan kompetensi bukan hanya dalam pengetahuan saja tetapi juga dalam budaya berpikir ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Hal ini yang sering kurang diperhatikan oleh guru yaitu membekali peserta didik dengan budaya berpikir ilmiah tersebut. Guru sering hanya terfokus pada penguasaan kompetensi dasar ilmu pengetahuan semata dan tidak mengajarkan cara berpikir. Padahal, dengan memberikan bekal kompetensi berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri, peserta didik akan dapat memperoleh dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan usahanya sendiri.

Pada umumnya, pembelajaran yang dilaksanakan masih bersifat teacher centered dan bukan student centered. Hal ini disebabkan karena guru seringkali kurang mempersiapkan diri di dalam melaksanakan pembelajaran. Tanpa perencanaan dan persiapan yang matang guru melaksanakan pembelajaran.

Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan mengandalkan metode yang konvensional yaitu ceramah di mana suasana pembelajaran “bersifat guru aktif, murid pasif”. Menghindari hal tersebut, guru dituntut untuk mengembangkan diri pada kemampuan pedagogiknya,  sehingga guru mampu menetapkan metode pembelajaran yang tepat sesuai  materi yang diajarkan,  memilih metode pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan keaktifan peserta didik, meningkatkan gairah belajar, dan meningkatkan tanggung jawab peserta didik secara individu maupun kelompok yang mendorong peningkatan kemampuan berpikir peserta didik.

Peningkatan kemampuan berpikir peserta didik merupakan hal yang sangat penting bagi peserta didik karena cara peserta didik memperoleh pengetahuan tergantung bagaimana cara berpikirnya. Menurut Vygotsky (1978, p. 51) “for the young child, to think means to recall; but for the adolescent, to recall means to think”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa kanak-kanak berfikir artinya mengingat sedangkan pada anak yang sudah dewasa mengingat artinya berpikir. Selanjutnya dinyatakan juga oleh Vygostky (1978, p. 88) bahwa “human learning presupposes a specific social nature and a process by which children grow into the intellectual life of those around them. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan pengenalan lingkungan sosial kepada peserta didik untuk membangun kehidupan intelektualnya. Apa yang dipikirkan seseorang dipengaruhi oleh kondisi spesifik lingkungan sosialnya. Jadi, pembelajaran yang baik seharusnya memberikan bekal kepada anak untuk melatih cara berpikirnya agar dapat digunakan untuk menghadapi situasi dan kondisi sosial yang dihadapinya.

Sementara pada masa globalisasi sekarang ini, di mana dunia dibombardir dengan begitu banyak informasi yang mengalir dengan deras dari berbagai arah akan memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Begitu banyak media informasi yang tersedia seperti koran, majalah, televisi dan internet. Iklan dan pesan yang bermunculan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tawaran makanan instan, pilih produk ini atau itu, hindari narkoba, cintai produk dalam negeri dan sebagainya. Beberapa informasi tersebut mungkin penting dan bermanfaat tetapi lebih banyak informasi yang harus diabaikan atau ditolak.

Pemikiran untuk mengikuti atau menolak sebuah informasi untuk menjawab mengapa informasi tersebut harus diikuti atau ditolak, menuntut sebuah alasan. Alasan tersebut sering menjadi justifikasi bagi tindakan yang kemudian dilakukan.  Menunjukkan alasan biasanya adalah dengan memberikan argumen yang dapat mempengaruhi seseorang meskipun argumen kadang diberikan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Di sini diperlukan kemampuan untuk menganalisis upaya seseorang untuk mempengaruhi sehingga seseorang dapat menginterpretasikan suatu perkataan atau  tulisan dan mengevaluasinya dengan atau tanpa argumen yang menyertainya (Bowell & Kemp, 1965,  pp. 1-4).

Pada umumnya pembelajaran hanya terfokus pada pengembangan kognitif peserta didik pada tataran penguasaan pengetahuan dasar yaitu kemampuan kognitif “mengingat” (C1). Menurut Bloom (Kuswana, 2012, p. 31) bahwa “mengingat” merupakan tataran terendah dalam tingkatan perkembangan berpikir. Bloom membagi ranah pengetahuan (kognitif) ke dalam 6 tingkatan, yaitu: (C1) pengetahuan, (C2) pemahaman, (C3) penerapan, (C4) analisis, (C5) sintesis, dan (C6) evaluasi. Dengan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, pembelajaran IPS akan menjadi lebih bermakna, karena di samping mengajarkan tentang mengingat fakta juga melatih kemampuan memahami, menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi.

Kemampuan memecahkan masalah sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kemampuan memecahkan masalah membutuhkan kemampuan untuk berpikir kritis. Dengan memberikan latihan berpikir kritis dalam pembelajaran IPS  maka diharapkan peserta didik dapat menggunakan kemampuan berpikir kritis untuk menghadapi konteks kehidupannya yang lebih luas.

Untuk itu, guru perlu melakukan proses pembelajaran yang melibatkan peningkatan kemampuan berpikir peserta didik. Menurut Lipman (Kuswana, 2012, p. 200) kemampuan berpikir terdiri dari kemampuan berpikir kritis (critical thinking), berpikir kreatif (creative thinking), dan kepedulian (caring thinking).  Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis tentu memerlukan metode pembelajaran yang mampu melatih peserta didik berpikir kritis dan kreatif dalam menemukan pengetahuan, yaitu pembelajaran inkuiri (enquiry), penalaran (reasoning), pembelajaran berbasis masalah (problem based learning) maupun pemecahan masalah (problem solving). Dengan pemilihan metode yang tepat diharapkan dapat memberikan proses pembelajaran yang berhasil dan bermakna.

Kenyataannya, di SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten Magelang, di kelas VIII F guru belum pernah melakukan pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan kemampuan berpikir kritis pada peserta didiknya. Hal tersebut, menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan rendahnya kemampuan berpikir kritis di kelas tersebut. Hal tersebut terbukti dari observasi awal dengan hasil pre test yang menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII F. Lihat Tabel 1.

 

Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan Berpikir Kritis

 

Rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta didik terlihat pula pada saat observasi pembelajaran di kelas, yaitu masih rendahnya jumlah siswa yang mengajukan pertanyaan maupun dalam hal menanggapi sebuah pernyataan. Dapat mengajukan pertanyaan merupakan salah satu tanda dari kemampuan berpikir kritis. Dilihat dari bobot pertanyaan yang diajukan pun masih berkisar pada hal-hal yang belum menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Sementara itu, dilihat dari capaian KKM, KKM klasikal yang dicapai pada saat pre test tersebut adalah sebesar 25% dari jumlah peserta didik di kelas, yang menunjukkan masih jauh dari yang ditetapkan oleh satuan pendidikan yaitu sebesar 80% (20 peserta didik)  mencapai KKM  individual.

Untuk mengatasi masalah di atas, salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis adalah problem solving. Dengan menggunakan metode ini peserta didik diajarkan cara untuk menyelesaikan sebuah permasalahan. Dalam memecahkan masalah terdapat langkah-langkah yang menuntut kemampuan peserta didik untuk berpikir secara kritis. Dengan menerapkan metode problem solving peserta didik juga akan mengetahui bagaimana cara untuk memecahkan sebuah persoalan. Cara pemecahan masalah tersebut dapat diaplikasikannya untuk memecahkan masalah-masalah dalam kehidupan nyata.

Media pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan media informasi. Media informasi yang digunakan dapat bervariasi seperti media cetak berupa teks atau gambar, media audio visual, maupun media interaktif melalui internet.

Metode ini selain memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengetahuan yang direncanakan, sekaligus diharapkan dapat melatih peserta didik untuk berpikir kritis sehingga peserta didik memiliki peningkatan dalam kemampuan berpikir kritis. Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan bekal untuk menggunakan kemampuan berpikirnya dalam menghadapi persoalan-persoalan lain dalam kehidupan sehari-hari di masa kini maupun di masa yang akan datang.

Penelitian-penelitian tentang upaya peningkatan kemampuan berpikir kritis dengan metode problem solving antara lain dilakukan oleh Chilcoat & Ligon (2004, pp. 40-46) yang menulis artikel berjudul Issues-Centered Instruction in the Social Studies Classroom: The Richard E. Gross Problem Solving Approach Model (Social Studies Review; vol 44; no 1; 2004). Penelitian menjelaskan tentang metode pembelajaran problem solving yang digunakan oleh Richard E. Gross. Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa Model Problem solving Richard Gross dapat membentuk peserta didik dalam berbagai macam kemampuan pro-sosial dan demokrasi pro-aktif, tanggung jawab, dan budi pekerti luhur yang diperlukan dalam masyarakat.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Waring, Scott M. & Robinson, Kirk S. (Middle School Journal Vol 42 No 1, 2010, pp. 22-28) dengan judul Developing Critical and Historical Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Hasil penelitian menunjukkan pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Penelitian ini menunjukkan bahwa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat dilakukan dengan melibatkan pemecahan masalah (problem solving), membuat dugaan, memperkirakan kemung-kinan dan membuat keputusan. Hal tersebut menunjukkan juga bagaimana berpikir kritis perlu diajarkan di sekolah agar peserta didik dalam kehidupan nyata dapat menghadapi masalah dan memutuskan tindakan yang harus dilakukan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Widana, A., Suhandana, A., & Atmadja B. dalam penelitiannya yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Berorientasi Pemecahan Masalah Open-Ended Terhadap Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII SMP Negeri 1 Kintamani” (e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Administrasi Pendidikan, Volume 4 Tahun 2013), menunjukkan bahwa pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open ended mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan hasil belajar biologi siswa.

Hasil penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Dike (2008) dalam tesisnya yang berjudul Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa dengan Model TASC (Thinking Actively in a Social Context) pada Pembelajaran IPS SD. Tesis, tidak dipublikasikan. Pembelajaran IPS SD dengan menggunakan model TASC terbukti mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hal ini tampak dalam kegiatan pembelajaran di mana model TASC mampu menumbuhkan rasa ingin atahu peserta didik (inquiri), kerja sama sosial dalam belajar, pembiasaan budaya bertanya, kemampuan menyampaikan pendiapat sehingga terbentuk budaya berpikir peserta didik (cultural thinking). Aspek berpikir kritis dalam tesis tersebur digali dengan menggunakan proses pembelajaran yang dirancang terfokus pada tiga aspek kunci berpikir kritis model proses Peter Kneedler yaitu: (1) Kemampuan Definisi dan Klarifikasi Masalah; (2) Kemampuan Menilai dan Mengolah Informasi; (3) Kemampuan Solusi Masalah/Mengambil Kesimpulan.  Penelitian tesis ini menggunakan metode problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik sedangkan penelitian relevan menggunakan model TASC. Ada kesamaan prinsip dalam kedua metode yaitu sama-sama menggunakan aktivitas “berpikir”.

Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan antara lain pertama, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan penjelasan bagaimana penerapan  metode  problem solving   dalam   pembelajaran  IPS sebagai upaya meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik, kedua metode pembelajaran problem solving diharapkan dapat digunakan sebagai cara yang efektif dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik, dan ketiga hasil penelitian diharapkan dapat untuk mengendalikan penerapan metode problem solving dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.

Manfaat Praktis yang diharapkan adalah dapat bermanfaat secara praktis baik bagi guru, peserta didik, sekolah, dan para peneliti lain. Bagi guru, penelitian ini pertama, dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menerapkan metode pembelajaran metode problem solving untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, dan kedua, memberikan bahan pertimbangan dalam menentukan metode pembelajaran yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi peserta didik. Manfaat praktis bagi peserta didik adalah pertama, proses kegiatan belajar mengajar IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang dapat meningkat, kedua kemampuan berpikir kritis peserta didik di dalam proses pembelajaran IPS dapat meningkat sehingga peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dengan lebih bermakna.

Manfaat bagi Sekolah, pertama, hasil penelitian diharapkan membantu tercapainya tujuan pembelajaran, kedua memberikan sumbangan bagi sekolah berupa perbaikan kegiatan pembelajaran yang diharapkan dapat mengoptimalkan hasil belajar peserta didik dan juga meningkatkan kualitas sekolah, ketiga Hasil penelitian diharapkan dapat menciptakan budaya penelitian untuk menganalisis masalah dan penemuan solusi masalah-masalah pembelajaran di sekolah, dan keempat meningkatkan prestasi akademik IPS di SMP Negeri 1 Salaman serta peningkatan pember-dayaan fasilitas sekolah seperti perpustakaan dan multimedia sebagai sumber informasi.

Manfaat bagi para peneliti antara lain: memberi gambaran untuk penelitian selanjutnya, untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran secara efektif dan efisien, dan mengembangkan kesimpulan dari penelitian untuk kajian penelitian

 

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom action research) yang digunakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman dengan  menggunakan metode  problem solving pada mata pelajaran IPS. Penelitian ini menggunakan desain yang dikembangkan oleh Kemmis & Taggart (1990, p. 11) yang diilustrasikan dengan Gambar 1.

 

Gambar 1 Siklus Model Kemmis & Taggart

 

Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui tiga tahapan dalam penelitian tindakan kelas menurut model bersiklus dari Kemmis & Taggart. Model ini menggunakan empat komponen penelitian tindakan, yaitu: perencanaan, tindakan dan observasi, serta refleksi (plan, act & observe, and reflect) dalam suatu sistem spiral yang saling terkait. Penelitian bertujuan untuk mengubah situasi dan kondisi kini ke arah kondisi yang diharapkan (melibatkan aktivitas berpikir kritis).

 

Waktu Penelitian

Waktu penelitian memakan waktu selama kurang lebih 2,5 bulan dimulai pada bulan  September 2013 sampai dengan bulan November 2013.

Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman yang berlokasi di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Alamat SMP Negeri 1 Salaman adalah di Jalan Diponegoro Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII F.  Peserta didik di kelas VIII F berjumlah 24 peserta didik, terdiri dari 12 peserta didik laki-laki dan 12 peserta didik perempuan. Penentuan subjek penelitian berdasarkan alasan bahwa kelas VIII F termasuk kelas dalam peringkat bawah dibandingkan dengan kelas pararel yang lainnya. Kekritisan peserta didik masih dirasa kurang saat diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan pembelajaran yang dapat melibatkan peserta didik dalam aktivitas berpikir secara kritis.

Rencana Tindakan

Rencana tindakan mengacu pada model PTK Kemmis & Taggart terdiri atas tiga tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan dan observasi, dan refleksi. Tahap Perencanaan, pada tahap ini hal-hal yang dilakukan adalah:   (a) Peneliti membuat rencana tindakan dan mendiskusikan dengan kolaborator (guru IPS di kelas VIII F) untuk melaksanakan tindakan berdasarkan temuan-temuan pada observasi awal, (b) Kolaborator (guru kelas) bertindak sebagai pelaksana tindakan dan peneliti sebagai observer (pengamat). Untuk itu, peneliti berkoordinasi dengan kolaborator mengenai teknis pelaksanaannya, (c) membuat dan menyusun perangkat kurikulum yang telah dikembangkan yaitu silabus dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) disertai skenario pembelajaran dengan menggunakan langkah-langkah metode problem solving IDEAL Brandsford & Stein (1984, p. 12), yaitu identify, define, explore, act/anticipate, dan looking back/learn, (d) membuat dan menyiapkan instrumen penelitian seperti: pedoman wawancara, pedoman observasi untuk memantau kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan indikator-indikator kemampuan berpikir kritis yang mengadaptasi pada indikator Kneedler dan catatan lapangan, serta perangkat post test.

Tahap pelaksanaan tindakan dan observasi pada pembelajaran ini ditempuh dengan mengikuti metode problem solving IDEAL, yang terdiri atas 5 tahap yaitu: tahap “Identify the problem, Define and represent the problem, Explore possible strategies, Act on the strategies, dan Looking back and evaluate the effects of your activities”. Tahap pelaksanaan, terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut.   (a) melakukan tindakan yang telah direncanakan oleh peneliti dan telah disepakati bersama kolaborator terdiri atas. (1) Kegiatan awal yaitu kegiatan yang dilakukan pada awal pembelajaran antara lain: memberi motivasi dan apersepsi pada peserta didik, dan menginformasikan tujuan pembelajaran dan konsep-konsep yang akan mereka pelajari, serta pengenalan metode problem solving.                 (2) Kegiatan inti, yaitu pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan problem solving  dengan menggunakan bantuan media informasi yang disesuaikan dengan materi pembelajaran, peran guru dalam hal ini adalah sebagai tutor dan fasilitator. Media informasi yang digunakan bervariasi pada setiap siklusnya. Peserta didik dapat bekerja secara individu atau di dalam kelompok-kelompok kerja untuk mendiskusikan setiap permasalahan yang diberikan, melakukan langkah-langkah identifikasi masalah dengan membuat pertanyaan-pertanyaan secara tepat, menganalisis dan menilai informasi serta menginterpretasikan masalah untuk memberikan kesimpulan atau solusi pemecahan masalah. Peserta didik kemudian memberikan presentasi hasil kerja kelompoknya untuk didiskusikan bersama di dalam kelas. Pertanyaan dan tanggapan peserta didik dalam diskusi kelas juga dicatat sebagai bagian dari penilaian kemampuan berpikir kritis.                (3) Penutup, yaitu memberikan kesimpulan dan evaluasi. Di akhir kegiatan, guru mengakhiri proses serta menyimpulkan hasil kerja dan diskusi kelompok/kelas. (b) melakukan tes untuk mengukur hasil tindakan yaitu untuk mengetahui perubahan kemampuan berpikir kritis sebelum dan sesudah tindakan.

Selama tindakan dilakukan di kelas, maka observasi dilakukan oleh peneliti meliputi proses berlangsungnya pembelajaran, dan aktivitas peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga hal-hal yang terjadi selama pelaksanaan tindakan dapat dicatat mulai dari persiapan sampai dengan akhir kegiatan.  Agar observasi berjalan maksimal maka digunakan kamera, catatan lapangan dalam bentuk jurnal kegiatan dan lembar-lembar observasi.

Tahap refleksi, kegiatan refleksi dilakukan dengan cara diskusi dengan pihak-pihak yang terkait setelah tindakan dilaksanakan, sehingga ditemukan permasalahan yang akan ditarik kesimpulan apakah tindakan telah sesuai dengan tujuan atau tindakan harus diadakan revisi untuk kegiatan yang akan datang. Berdasarkan hasil refleksi maka disusun rencana tindakan selanjutnya untuk perbaikan atas kelemahan-kelemahan dari tindakan sebelumnya.

Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data

Teknik dan instrumen pengumpulan data yang dilakukan yaitu: observasi, wawancara, dan tes. Teknik observasi ditujukan untuk memperoleh data kemampuan berpikir kritis peserta didik yang dikumpulkan dengan instrumen pengumpulan data berupa lembar observasi ditambah dengan catatan lapangan untuk memperoleh gambaran tentang berlang-sungnya kegiatan pembelajaran. Observasi sendiri meliputi observasi terhadap guru, observasi terhadap peserta didik, dan observasi terhadap proses pembelajaran.

Teknik wawancara dilaksanakan terhadap guru kolaborator untuk mendapatkan informasi tentang kemampuan berpikir kritis peserta didik, metode pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar pada mapel IPS, dan Informasi/pendapat/saran/ masukan dari rekan kolaborator dan pengamat tentang proses pembelajaran, materi, kesulitan dan alternatif solusi. Instrumen untuk melaksanakan wawancara berupa lembar panduan wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang ditujukan kepada subjek penelitian/responden. Responden diminta untuk menjawab atau merespon yang bisa mencakup fakta, data, pengetahuan, konsep, pendapat, persepsi atau evaluasi responden berkenaan dengan fokus masalah atau variabel.

Peneliti juga menggunakan tes sebagai alat pengumpulan data. Teknik pengumpulan data ini digunakan untuk mengetahui informasi tentang hasil belajar peserta didik terhadap materi yang dipelajari dengan metode problem solving. Instrumen yang digunakan  berupa lembar tes tertulis yang dikembangkan untuk menggali informasi tentang kemajuan dan pencapaian beberapa komponen berpikir kritis selama proses pembelajaran pada setiap siklus.

Teknik Validasi Instrumen

Instrumen dalam penelitian ini divalidasi melalui dua tahap. Tahap pertama, instrumen-instrumen yang ada dikembangkan atau diadaptasi berdasarkan pendapat para ahli. Kedua, instrumen yang telah dikembangkan tersebut dimintakan penilaian beberapa ahli melalui konsultasi dan diskusi untuk proses perbaikan dan penyempurnaan (professional judgment). Para ahli yang dimaksud adalah dosen pembimbing tesis, dosen ahli penelitian, dan dosen ahli materi. Dengan cara ini instrumen dianggap valid dan dapat dipakai sebagai alat untuk menggali dan mengumpulkan informasi/data.

Untuk memenuhi standar ilmiah dan akademis, maka hasil analisis dikaji dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula melalui teknik keabsahan data. Teknik triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa atau mengecek ulang informasi hasil pengamatan atau observasi peneliti dan pengamat, hasil wawancara, dan hasil pencatatan lapangan pada setiap siklus. Kepentingan triangulasi dalam pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan konsistensi, ketuntasan dan kevalidan data, sehingga diperoleh data yang konsisten, tuntas dan pasti. Hal ini sesuai dengan yang disimpulkan oleh Sukardi (2006: p. 111) bahwa triangulasi merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk melindungi peneliti dari bias melalui cara membandingkan data dari beberapa informasi yang berbeda.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis ada yang digunakan adalah statistik deskriptif persentase. Analisis deskriptif persentase digunakan untuk menjelaskan terjadinya peningkatan secara persentatif terhadap kemampuan berpikir kritis maupun hasil belajar peserta didik. Analisis data dalam penelitian ini juga ditempuh melalui cara merefleksikan hasil pengamatan selama pelaksanaan tindakan yang dilakukan pada setiap siklus. Proses ini dijalankan secara kolaboratif antara peneliti, guru dan pengamat untuk melihat, mengkaji, menilai dan mempertimbangkan dampak atau hasil tindakan selama proses serta pencapaian hasil dari tindakan yang dilakukan.

Analisis kemampuan berpikir kritis peserta didik meliputi 3 aspek pengukuran berpikir kritis dengan 3 indikator pada masing-masing aspek sehingga terdapat 9 indikator. Masing-masing indikator dinilai dengan rentang skor penilaian 1, 2, dan 3. Setiap skor memiliki kriteria penilaian tertentu yang mengacu pada pedoman penilaian skor kemampuan berpikir kritis yang mengacu  pada pendapat Kneedler (1988: p. 277). Untuk menentukan rentang kriteria penilaian kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat dilihat pada Tabel 2.

 

 

 

 

 

 

Tabel 2.  Rentang Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis (skor 1-100)

Interval Nilai

Interpretasi

X ≥ 74,07

Kritis

74,07 > X ≥ 66,67

Cukup kritis

66,67  > X ≥ 59,26

Kurang kritis

X <  59,26

Tidak kritis

   (Sumber: diadaptasi dari Mardapi: 2008, p. 123)

Keterangan:

X  adalah skor yang dicapai peserta didik

 

Analisis Hasil Belajar Peserta Didik

Uji ketuntasan belajar peserta didik dilakukan dengan menjumlahkan skor hasil belajar. Uji ketuntasan belajar dilakukan dengan menjumlahkan skor hasil belajar peserta didik dengan sistem penilaian diberikan dalam skala angka 1-100. Nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau mengacu pada Penilaian Acuan Patokan (PAP) untuk memperoleh nilai peserta didik secara individu dan nilai rata-rata kelas diperoleh melalui rumus berikut.

 

Perhitungan Ketuntasan Belajar Individu

               Skor yang diperoleh

KBI =                                              x 100

                   Skor maksimal

 

Perhitungan Ketuntasan Klasikal

    Jumlah peserta didik  mencapai KBI

KK =                                                   x 100%   

      Jumlah seluruh peserta didik

Penilaian hasil belajar yang diperoleh  masing-masing individu dalam mencapai ketuntasan individual dihitung persentasenya pada setiap siklus. Persentase ketuntasan tersebut kemudian diperbandingkan dari setiap siklusnya untuk memperoleh gambaran peningkatan yang dicapai.

 

Kriteria Keberhasilan Tindakan

Keberhasilan tindakan dapat diukur berdasarkan skor yang diperoleh peserta didik. Skor yang diperoleh menunjukkan daerah kemampuan berpikir kritisnya yaitu kritis, cukup kritis, kurang kritis dan tidak kritis. Jika sesudah diterapkannya metode problem solving, peserta didik memperoleh rata-rata  skor yang lebih tinggi dari rata-rata skor awal (pra siklus), maka terjadi peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Dengan demikian maka dapat disimpulkan tindakan telah berhasil mencapai kriteria seperti yang diharapkan.

Dari data hasil belajar yang diperoleh melalui tes pada tiap akhir siklus, kriteria keberhasilan tindakan ditetapkan sebagai berikut: ketuntasan belajar individu mencapai nilai 80 sesuai KKM individual. Setiap peserta didik yang telah mencapai nilai 80 dari tes hasil belajar maka peserta didik telah mencapai ketuntasan belajar individu. Ketuntasan belajar klasikal mencapai 80% peserta didik di dalam kelas tersebut telah mencapai ketuntasan belajar individu. Dalam hal ini, dengan menghitung persentase peserta didik yang telah mencapai ketuntasan individu dalam kelas penelitian tindakan dengan kriteria 80% dari keseluruhan peserta didik telah mencapai nilai 80.

Tindakan dihentikan apabila jumlah peserta didik di dalam kelas tersebut yang dapat mencapai nilai 80 atau lebih sebanyak 80% dari keseluruhan jumlah siswa di kelas. Jumlah peserta didik dalam kelas penelitian adalah 24, maka harus terdapat 20 siswa atau lebih yang mampu mencapai nilai 80. Sehingga bila kedua kriteria di atas telah terpenuhi maka penelitian tindakan dinyatakan telah berhasil sesuai yang diharapkan.

 

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

 

Persiapan Perencanaan Tindakan

Rancangan pembelajaran ditujukan terutama untuk meningkatkan kualitas pembelajaran IPS dengan menggunakan metode problem solving IDEAL menurut Brandford and Stein. Skenario pembelajaran diarahkan pada bagaimana cara untuk melibatkan peserta didik secara aktif dalam pembelajaran yang menuntut mereka dalam mengerahkan kemampuan berpikirnya. Peserta didik diarahkan untuk memahami langkah-langkah dalam problem solving yang di dalamnya terkandung aspek-aspek dalam berpikir kritis. Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembelajaran maka hal ini perlu diupayakan secara maksimal.

Upaya yang perlu dilakukan antara lain dengan membebaskan siswa untuk memperoleh berbagai informasi yang mereka perlukan dalam mencari pemecahan masalah yang diberikan. Oleh karena itu, untuk mendukung pembelajaran penelitian ini menggunakan media pembelajaran yang berupa media informasi. Media informasi yang dimaksud adalah media informasi berupa media visual, teks, maupun audiovisual yang telah dirancang untuk diberikan kepada peserta didik sebagai masalah yang harus dipecahkan.

 

Pelaksanaan dan Hasil Tindakan

Deskripsi Tindakan Siklus I

Deskripsi tindakan Siklus I, diawali dengan Rencana Tindakan Siklus I yang terdiri atas kegiatan: (a) menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), (b) menyiapkan media pembelajaran, (c) menyusun pedoman observasi untuk mengamati kegiatan pembelajaran, dan   (d) menyusun instrumen tes untuk menilai kemampuan berpikir kritis. Pencapaian kemampuan berpikir kritis pada peserta didik diukur dengan post test yang sekaligus merupakan tes untuk memperoleh nilai hasil belajar peserta didik siklus I, dan (e) menyiapkan perlengkapan wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi visual pelaksanaan pembelajaran.

Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus I dilaksanakan pada tiga tatap muka.  Materi yang dipelajari adalah KD 2.2 yaitu “Menguraikan proses terbentuknya kesadaran nasional, identitas Indonesia, perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia”. Kegiatan pembelajaran dilakukan dengan mengacu pada metode problem solving yang dikemukakan oleh Brandsford dan Stein yang terdiri atas lima langkah. Lima langkah tersebut berupa akronim IDEAL yaitu identification, definition, exploration, anticipate, dan look back.

Pada pertemuan pertama, dilaksanakan tiga langkah yaitu Identifying, Defining problems dan Exploring.

 

Langkah Identifying atau identifikasi

Pada langkah pertama, identifikasi masalah, peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa yang sedang mereka hadapi. Tugas yang diberikan guru sebenarnya sudah menjadi persoalan bagi peserta didik yaitu bagaimana mereka mewujudkan produk yang diminta oleh guru untuk membuat majalah dinding. Mereka harus mengidentifikasi hal-hal apa yang harus mereka lakukan agar tugas tersebut terwujud.

Selain itu, masalah terpenting yang mereka hadapi adalah bagaimana menyajikan informasi dibalik gambar-gambar yang diberikan dalam lembar kerja. Guru harus mendorong peserta didik untuk menumbuhkan rasa ingin tahu tentang suatu hal dengan meminta setiap peserta didik menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam pemikiran mereka sebelum mereka mencari informasi. Timbulnya pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting bagi mereka karena akan mengarahkan informasi-informasi apa yang harus mereka peroleh. Pada tahap ini, peserta didik harus menggunakan kemampuan berpikir yang kritis.

Kemudian setiap kelompok berdiskusi secara aktif untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus mereka pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok, bagaimana memperoleh sumber informasi, dan merumuskan bentuk majalah dinding yang harus mereka sajikan. Pada kegiatan ini peserta didik dapat diamati mana yang aktif dalam kelompok dan mana yang masih pasif. Guru disini berperan sebagai motivator dan fasilitator yang mendorong peserta didik untuk selalu aktif dan memberikan penjelasan bila ada pertanyaan dari peserta didik.

 

Langkah Defining Problems atau mendefinisikan masalah

Pada langkah kedua, mendefinisikan masalah, dengan bimbingan guru peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan pemecahan masalah. Peserta didik juga didorong untuk menggali ide dan gagasan sebanyak mungkin untuk merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai informasi yang diperoleh peserta didik dapat menentukan informasi mana yang paling relevan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.  Dalam aktivitas ini peserta didik diarahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir kritisnya. Langkah identifikasi dan definisi dalam indikator berpikir kritis termasuk ke dalam unsur “definisi dan klarifikasi masalah”.

 

Langkah Exploring atau Eksplorasi

Langkah ketiga, eksplorasi, yaitu peserta didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Mereka akan merasa bangga dan bertanggung jawab untuk memecahkan masalah dengan caranya sendiri. Kemudian mereka mulai bekerja dalam kelompok masing-masing dengan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang dibutuhkan dan penyusunannya.  Media yang disediakan oleh guru adalah berbagai sumber sejarah berupa media informasi cetak seperti buku-buku sejarah berbagai pengarang, buku album perjuangan bangsa dan buku ensiklopedi Indonesia. Siswa dibebaskan untuk memilih sumber yang dikendaki dan boleh lebih dari satu sumber.

Pertemuan kedua melanjutkan langkah eksplorasi berikutnya yaitu melakukan presentasi Langkah eksplorasi pada pertemuan sebelumnya sudah ada akan tetapi belum tuntas seluruhnya. Salah satu indikator langkah ketiga ini adalah mempresentasikan masalah. Dalam hal ini, presentasi yang dilakukan peserta didik secara berkelompok adalah presentasi hasil tugas berupa majalah dinding. Setiap kelompok diberi waktu masing-masing 15 menit dengan perincian 8 menit untuk presentasi dan 7 menit untuk menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain (digabung dengan langkah keempat).

 

Langkah Anticipate and Act atau Antisipasi dan Aksi

Pada langkah keempat, antisipasi dan aksi, peserta didik setelah selesai presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain. Guru sebagai fasilitator juga memberikan konfirmasi atas beberapa tanggapan maupun jawaban yang kurang tepat. Setiap kelompok yang maju juga mencatat kritikan dan hambatan yang dialami dalam penyelesaian tugas. Peserta didik pada langkah eksplorasi, antisipasi dan aksi diarahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir kritis yaitu pada unsur “menilai dan mengolah informasi yang berhubungan dengan masalah”.

 

Langkah Look and Learn atau Lihat dan Pelajari

Pertemuan ketiga melaksanakan langkah kelima dalam problem solving yaitu look and learn. Pada langkah kelima ini peserta didik diajak melakukan observasi terhadap keputusan dalam penyelesaian tugas. Hal di atas merupakan tahapan yang paling sulit. Pada langkah ini peserta didik betul-betul dituntut untuk berpikir secara kritis tentang berbagai hal yang sudah dilakukannya bersama teman-teman dalam satu kelompok. Dalam aktivitas ini  peserta didik dinilai kemampuan berpikir kritisnya pada unsur “solusi masalah/membuat kesimpulan/ memecahkan masalah”. Dengan demikian ketiga unsur kemampuan berpikir kritis (menurut Kneedler) sudah tercakup ke dalam langkah-langkah dalam metode problem solving IDEAL.

Di akhir siklus I, dilaksanakan post test untuk mengukur hasil belajar kognitif . Soal yang diberikan sudah dirancang dengan memasukkan indikator-indikator kemam-puan berpikir kritis seperti membuat pertanyaan dan pernyataan, menilai hubungan antar pernyataan, mencari sebab-sebab kejadian, membuat prediksi tentang suatu kejadian dan juga membuat kesimpulan dari suatu persoalan. Jumlah soal sebanyak 6 soal yang terdiri atas berbagai variasi soal yaitu uraian dan pilihan ganda dengan variasi. 

 

Observasi Tindakan Siklus I

Observasi atau pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus I  meliputi observasi terhadap jalannya pembelajaran, observasi terhadap guru, dan observasi terhadap siswa. Hasil observasi secara umum pada awal pembelajaran dengan metode ini baik guru maupun peserta didik masih mengalami kendala. Guru karena baru pertama kali menggunakan metode ini masih kikuk, sedangkan peserta didik masih belum paham cara melakukannya. Namun pada pertemuan berikutnya pembelajaran mulai berjalan lancar. Peneliti dan kolaborator lain dapat mengamati bahwa selama pembelajaran suasana kelas cukup antusias dan terlihat hanya beberapa peserta didik yang belum begitu menunjukkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritisnya.

Dilihat dari hasil observasi, maka terlihat bahwa sudah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis jika dibandingkan dengan hasil pada pra siklus. Jumlah peserta yang mencapai kriteria “kritis” sejumlah 14 peserta didik meningkat daripada sebelumnya ketika pra siklus sejumlah 4 peserta didik. Lihat Tabel 3.

Dari hasil post test siklus I diperoleh data bahwa terdapat 12 peserta didik yang tuntas atau mampu mencapai nilai KKM (nilai 80) dan 12 peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu mencapai nilai KKM. Nilai rata-rata kelas yang diperoleh adalah 76. Secara klasikal, ketuntasan belajar pada post test tersebut sebesar 50% yang menunjukkan belum tercapainya ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam KTSP sebesar 80%. Meskipun demikian, sudah terdapat peningkatan dibandingkan dengan hasil pre test yang baru mencapai rata-rata kelas sebesar 68 dengan ketuntasan klasikal sebesar 25%  (6 orang).

Tabel 3. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan Berpikir Kritis pada

Siklus I

Refleksi Tindakan Siklus I

Para peserta didik pada siklus I ini cukup serius dan tertarik dengan metode pembelajaran problem solving IDEAL yang belum pernah dialami. Media pembelajaran yang digunakan cukup menantang peserta didik karena diberikan gambar yang menimbulkan tanda tanya bagi para peserta didik. Aktivitas peserta didik tampak meningkat ketika diberikan tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa yang mereka ingin ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian informasi. Meskipun masih terdapat beberapa peserta didik yang kurang memperhatikan atau mengobrol sendiri, secara umum pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar pada siklus I dari pada sebelum diberikan tindakan. Refleksi pelaksanaan pembelajaran pada siklus I adalah perlu dilanjutkannya tindakan untuk siklus II agar dapat meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan berpikir kritis peserta didik hingga mencapai KKM klasikal.

Deskripsi Tindakan Siklus II

Deskripsi tindakan Siklus II, langkah-langkah yang  pada  Siklus II ini sama dengan yang dilaksanakan pada Siklus I . Perbedaannya adalah pada variasi penggunaan media informasi. Jika pada siklus I media informasi yang digunakan adalah media gambar dan teks, maka pada siklus II ini digunakan media informasi berupa teks (petikan berita di koran) dan media internet. Tugas problem solving yang diberikan pada Siklus II ini adalah membuat opini dari petikan berita di koran.

Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus II dilaksanakan pada dua tatap. Kegiatan pembelajaran masih menurut sintaks IDEAL yaitu identification, definition, exploration, anticipate, dan look back.

Pertemuan pertama siklus II dilaksanakan  dengan diawali pemberitahuan tujuan pembelajaran pada KD. 3.1 ini dan penjelasan awal penyakit-penyakit sosial oleh guru. Setelah itu guru menjelaskan metode  problem solving untuk digunakan dalam pembelajaran. Peserta didik mendengarkan penjelasan tersebut sambil menyimak tayangan power point di depan kelas. Kemudian, guru memberikan masalah berupa tugas untuk membuat sebuah tulisan berupa opini dengan topik tentang penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial.

Pada pertemuan pertama ini, dilaksanakan tiga langkah yaitu Identifying, Defining problems dan Exploring.

Langkah Identifying atau Identifikasi

Pada langkah pertama ini, identifikasi masalah, peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa yang sedang mereka hadapi. Untuk membuat opini, mereka harus membaca terlebih dahulu sebuah cuplikan berita dari koran yang berbeda untuk setiap kelompok. Kemudian merekan berdiskusi untuk memutuskan informasi tambahan apa yang diperlukan untuk membuat karya opini mereka.

Kemudian setiap kelompok berdiskusi secara aktif untuk mengidentifikasi hal-hal yang harus mereka pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok, bagaimana memperoleh sumber informasi, dan menentukan gagasan utama dalam opini. Peran guru dalam tahap ini adalah sebagai motivator dan fasilitator. Guru sekaligus mengamati keaktifan peserta didik dalam setiap kelompoknya.

Langkah Defining Problems atau Mendefinisikan Masalah

Pada langkah kedua, mendefinisikan masalah, dengan bimbingan guru peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan pemecahan masalah. Peserta didik juga didorong untuk menggali ide dan gagasan sebanyak mungkin untuk merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai informasi yang diperoleh peserta didik dapat menentukan informasi mana yang paling relevan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.  Langkah identifikasi dan definisi dalam indikator berpikir kritis termasuk ke dalam unsur “definisi dan klarifikasi masalah”. Dengan demikian, peserta didik mulai belajar meningkatkan kemampuan berpikirnya.

Langkah Exploring atau Eksplorasi

Langkah ketiga adalah eksplorasi yaitu peserta didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka hadapi. Mereka harus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka susun sendiri sebelumnya.  Media yang disediakan oleh guru adalah buku-buku pelajaran IPS juga akses internet untuk memperoleh informasi lebih banyak.

Pertemuan kedua siklus II dilaksanakan langkah-langkah berikut. Langkah eksplorasi pada pertemuan sebelumnya sudah ada akan tetapi belum tuntas seluruhnya. Salah satu indikator langkah ketiga ini adalah mempresentasikan masalah. Setiap kelompok diberi waktu masing-masing 15 menit dengan perincian 8 menit untuk presentasi dan 7 menit untuk menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain.

Langkah Anticipate and Act atau Antisipasi dan Aksi

Pada langkah ini, peserta didik setelah selesai presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain. Guru sebagai fasilitator juga memberikan konfirmasi atas beberapa tanggapan maupun jawaban yang kurang tepat. Setiap kelompok yang maju juga mencatat kritikan dan hambatan yang dialami dalam penyelesaian tugas. Peserta didik pada langkah eksplorasi, antisipasi dan aksi diarahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir kritis yaitu pada unsur “menilai dan mengolah informasi yang berhubungan dengan masalah”.

Pada akhir pembelajaran silus II ini, peserta didik diberikan post test atau tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil tes siklus II ini akan dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui ada tidaknya peningkatan yang diharapkan

Observasi Tindakan Siklus II

Observasi atau pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus II  meliputi observasi terhadap jalannya pembelajaran, observasi terhadap guru, dan observasi terhadap peserta didik. Pada siklus II suasana pembelajaran cukup menyenangkan. Para peserta didik terlihat cukup antusias mengikuti pembelajaran terutama ketika ditayangkang beberapa berita mengenai penyakit-penyakit sosial yang muncul di masyarakat. Pada siklus II guru terlihat lebih menguasai metode problem solving ini. Ketika pada tahap kerja kelompok guru mampu menjadi motivator dan fasilitator. Peserta didik juga sudah lebih memahami langkah-langkah yang harus dijalankannya.

Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik berdasarkan hasil observasi kemampuan berpikir kritis siklus II, dapat disimpulkan sebaran kemampuan berpikir kritis siswa sesuai dengan kriteria di atas dalam Tabel 4 sebagai berikut.

Pada akhir siklus II diadakan ulangan harian berupa post test  yang ditujukan untuk mengetahui hasil belajar kognitif peserta didik. Dari hasil post test siklus II,  nilai rata-rata kelas mencapai 83. Jumlah peserta didik yang tuntas belajar atau mampu mencapai nilai KKM sebanyak 20 orang dan 4 peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu mencapai nilai KKM. Secara klasikal, ketuntasan belajar post test siklus II tersebut adalah sebesar 83% yang menunjukkan tercapainya ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam KTSP sebesar 80%.

Tabel 4. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan Berpikir Kritis pada Siklus II

 

Refleksi siklus II

Para peserta didik pada siklus II ini sudah lebih memahami metode pembelajaran problem solving IDEAL yang telah digunakan pada siklus sebelumnya. Aktivitas siswa tampak meningkat ketika diberikan tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa yang mereka ingin ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian informasi. Peserta didik yang kurang memperhatikan sudah lebih berkurang dan mereka cukup serius menjalankan tugasnya. Secara umum pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan hasil belajar pada siklus II dari pada siklus I. Refleksi pelaksanaan pembelajaran pada siklus II  adalah sebagai Pada siklus II ini target pencapaian hasil belajar kognitif dan peningkatan kemampuan berpikir kritis yang didorong dengan peningkatan aktivitas belajar peserta didik pada siklus II ini sudah tercapai. Oleh karena tujuan tindakan sudah tercapai, maka tidak diperlukan lagi tindakan atau siklus berikutnya.

Pembahasan

Untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran IPS di kelas VIII-F, peneliti menerapkan pembelajaran metode problem solving IDEAL dengan variasi media informasi sebagai media pembelajaran. Variasi media pembelajaran ditentukan pada awal pembelajaran siklus pertama dan hasil dari refleksi setiap siklusnya. Penggunaan variasi media dan metode pembelajaran disajikan pada tabel 5.

Kemudian, bagaimana penerapan metode problem solving IDEAL berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS yang berpengaruh pada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar dibahas sebagai berikut. Kemampuan berpikir kritis peserta didik dari pra siklus, siklus I dan siklus II mengalami peningkatan. Dari ketiga aspek kemampuan berpikir kritis yaitu kemampuan definisi dan klarifikasi masalah, kemampuan menilai dan mengolah informasi dan kemampuan solusi masalah/membuat kesimpulan kesemuanya menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat diamati melalui sajian Tabel 6.

Tabel 5. Variasi Media Pembelajaran Siklus I dan II Metode problem solving IDEAL berbantuan media informasi

 No.

Tahap Pembelajaran

Siklus I

Siklus II

1

Pendahuluan:

Appersepsi dan Motivasi

Power point tayangan berupa gambar diam/foto  sejarah

Power point tayangan berupa gambar bergerak/ video

2

Inti

 

-    Lembar Kerja

-    Foto dan gambar bersejarah

-    Buku-buku, album sejarah perjuangan

-       Lembar Kerja

-       Kliping berita dari Koran

-       Buku-buku, akses internet

 

Tabel 6. Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek pada Pra siklus, Siklus I dan Siklus II

 

No

Aspek

Pra Siklus

Siklus I

Siklus II

1

Definisi dan klarifikasi

68,98

76,39

82,87

2

Menilai informasi

65,28

76,85

81,92

3

Memecahkan masalah

56,48

66,67

76,39

Rerata Aspek

63,58

73,30

80,40

 

Dari Tabel 6 terlihat bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik yang ditunjukkan dengan peningkatan skor yang diperoleh. Pada aspek definisi dan klarifikasi jika dibandingkan antara hasil pra siklus dengan siklus I mengalami peningkatan dari 69 menjadi 76 atau meningkat sebesar 10,14% dan dari siklus I ke siklus II meningkat lagi menjadi 83 atau meningkat sebesar 9,21%. Pada aspek menilai informasi juga terdapat peningkatan dari pra siklus ke siklus I yaitu dari 65 menjadi 77 atau sebesar 18,46%, dan meningkat lagi pada siklus II menjadi 82 atau meningkat sebesar 6,49%. Demikian juga pada aspek memecahkan masalah atau membuat kesimpulan juga terdapat peningkatan dari pra siklus ke siklus I sebesar 19,64% yaitu dari 56 menjadi 67 dan pada siklus II meningkat menjadi  76 atau 13,43%.

Bila dibandingkan peningkatan reratanya maka dari pra siklus ke siklus I meningkat sebesar 14,06% dan dari siklus I ke siklus II meningkat sebesar 9,59%. Jika dibandingkan hasil pra siklus dengan hasil akhir (sieklus II) maka peningkatan yang terjadi adalah sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui Gambar 3.

 

 

Gambar 3. Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek

 

Berdasarkan data di atas, dapat dianalisis bahwa kemampuan berpikir kritis yang terbesar adalah dari aspek pertama yaitu aspek definisi dan klarifikasi masalah. Aspek ini cukup penting dikuasai peserta didik sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan yang sedang dihadapi. Pada aspek menilai informasi diperoleh skor rerata yang lebih rendah menurut peneliti disebabkan karena aspek ini memang lebih sulit untuk dikuasai. Pada aspek menilai informasi peserta didik terkadang kebingungan untuk menentukan informasi yang penting dan relevan. Guru perlu menunjukkan bahwa ketepatan dalam definisi dan klarifikasi menentukan bagaimana menilai informasi yang diterima dengan lebih mudah.

Pada aspek memecahkan masalah/ membuat kesimpulan juga memperoleh skor yang lebih rendah. Hal ini menurut peneliti karena peserta didik belum terbiasa untuk menganalisa suatu persoalan berdasarkan informasi yang telah dikumpulkannya sehingga dapat membuat keputusan. Sebaiknya guru lebih sering mengajarkan peserta didik untuk belajar mengambil keputusan sendiri dan menghargai apa pun keputusannya agar anak dapat mengetahui apakah keputusannya benar atau salah.

Pelaksanaan tindakan penelitian kelas pada akhirnya mencapai ketuntasan belajar setelah siklus II. Dari data hasil belajar kognitif pra siklus, siklus I, dan siklus II dapat dilihat perkembangan yang dicapai melalui rata-rata nilai pada setiap siklusnya. Perbandingan hasil belajar kognitif pada setiap siklusnya dapat dilihat dalam Tabel 7.

 

 

Tabel 7. Tabel Perbandingan Hasil Belajar

pada Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II (n= 24)

Keterangan

Pra Siklus

Siklus I

Siklus II

Nilai Tertinggi

82

85

92

Nilai Terendah

49

62

72

Rata-rata Nilai

68

76

83

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Dari tabel tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan capaian hasil belajar kognitif yang dilaksanakan setiap akhir siklus dibandingkan dengan sebelum diberikannya tindakan (pra siklus). Pada siklus I sudah dilaksanakan tindakan akan tetapi hasil belajar belum mencapai ketentuan KKM yaitu 80, meskipun sudah terdapat peningkatan dibandingkan hasil belajar pada pra siklus. Rata-rata kelas pada siklus I mencapai 76 sementara KKM yang ditentukan adalah 80. Jadi pada Siklus I hasil belajar kognitif belum dapat mencapai harapan sesuai ketentuan KKM.

Tabel 8. Pencapaian KKM secara klasikal pada Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II

Keterangan

Pra Siklus

Siklus I

Siklus II

Jumlah yang mencapai 

KKM

6

25%

12

50%

20

83%

Jumlah yang tidak mencapai KKM

18

75%

12

50%

4

17%

Jumlah siswa

24

100%

24

100%

24

100%

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Sementara itu, pada capaian hasil belajar secara klasikal, pada siklus I ada 12 peserta didik yang nilainya mencapai KKM (80) atau 50% dari seluruh peserta didik. Hal ini juga belum memenuhi KKM klasikal yang diharapkan yaitu  80% dari seluruh peserta didik dapat mencapai nilai 80.

Karena hal tersebut di atas, maka tindakan dilanjutkan pada siklus II dan hasil yang diperoleh menunjukkan peningkatan. Nilai rata-rata kelas tercapai 83 yang berarti sudah di atas KKM. Jumlah peserta didik yang mencapai nilai sesuai KKM sebanyak 20 orang atau sebanyak 83% peserta didik telah tuntas (lihat Tabel 8). Hal ini menunjukkan pada akhir siklus II sudah tercapai ketuntasan yang diharapkan. Maka, tindakan penelitian tidak perlu dilanjutkan dan diakhiri hingga siklus II.

 

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media informasi dapat disimpulkan sebagai berikut. Penerapan metode problem solving berbantuan media informasi dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Setelah penerapan metode problem solving dalam pembelajaran IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Jumlah peserta didik yang mencapai kriteria “kritis” pada pra siklus sebanyak 4 peserta didik. Setelah tindakan, jumlah peserta didik dengan kriteria “kritis” pada siklus I sebanyak 14 orang atau 58,33%  (belum mencapai kriteria keberhasilan tindakan) dan pada siklus II sebanyak 22 orang atau 91,67% (sudah mencapai kriteria keberhasilan tindakan). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F SMP N 1 Salaman Kabupaten Magelang Tahun pelajaran 2013/2014.

Saran

 Saran untuk guru antara lain: guru menerapkan pembelajaran metode problem solving berbantuan media informasi untuk materi pembelajaran apa pun. Selain itu, guru dalam menerapkan metode problem solving sebaiknya menguasai langkah pembelajaran dengan baik dan mampu merumuskan permasalahan yang akan dibahas dengan akurat. Dalam menerapkan pembelajaran metode problem solvin, disarankan untuk guru sebaiknya melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan memperhatikan alokasi waktu supaya dapat tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Saran kepada institusi antara lain: pembelajaran metode problem solving dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam kebijakan pengembangan kurikulum sekolah, khususnya pada pembelajaran IPS di SMP. Selain itu, metode problem solving berbantuan dapat digunakan dalam pengembangan profesi guru, terutama dalam inovasi pembelajaran. Metode problem solving juga dapat digunakan sebagai salah satu alat pengembangan proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil terutama pada ranah kognitif dengan fokus pada kemampuan berpikir kritis. Saran untuk peneliti lain yaitu hasil penelitian dapat berguna untuk lebih banyak menemukan penggunaan variasi media pembelajaran yang sesuai bagi pembelajaran IPS dengan metode problem solving.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

 

Bowell, Tracy & Kemp, Gary. (2002). Critical thinking a concise guide. New York: Routledge.

Brandsford, John D., & Stein, Barry S. (1984). The IDEAL problem solver a guide for improving thinking, learning, and creativity. New York: W.H. Freeman and Company.

Chilcoat, George W. & Ligon, Jerry A. (2004: 40-46). Developing critical and historical thinking skills in middle grades social studies. Social Studies Review Vol 44 No 1 (Fall 2004, ProQuest Education Journals.

Dike, Daniel. (2008). Peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan model TASC (Thinking  Actively in a Social Context) pada pembelajaran IPS SD. (Tesis belum dipublikasikan). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Kemmis, Stephen., McTaggart, & Robin. (1990). The action research planner (3rd edition). Victoria: Deakin University Press.

Kneedler, Peter., Costa, Arthur L. (ed). (1988). California Assesses Critical Thinking. Developing Minds. Virginia: Association for Supervision and Curriculum Departemen.

Kuswana,  Wowo Sunaryo. (2012). Taksonomi kognitif perkembangan ragam berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mardapi, Djemari. (2011). Pengukuran, penilaian dan evaluasi pendidikan. Yogyakarta: Nuha Medika.

Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Sukardi. (2006). Penelitian kualitatif-naturalistik dalam pendidikan. Yogyakarta: Usaha Keluarga.

Undang-Undang RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Vygostsky, L.S. (1978). Mind in society the development of higher psychological processes. Diedit oleh Michael Cole et al. USA: Harvard University Press.

Waring, Scott M. & Robinson, Kirk S. (2010). Developing Critical and Historical Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Middle School Journal 42 (1), 22-28. Copyright by ProQuest Education Journals, ProQuest Research Library. diunduh dari: http://search.proquest.com/docview/ 760811013?accountid =31324

Widana, A. Suhandana, A. & Atmadja, B. (2013). Pengaruh model pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open-ended terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar biologi siswa kelas vii smp negeri 1 kintamani. E-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Volume 4 Tahun 2013. Diunduh dari: pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ap/article/ view/628

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara