PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan unsur terpenting dalam
pembentukan watak dan kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan, suatu bangsa
akan memiliki sumber daya manusia yang berkualitas yang memungkinkan untuk
memajukan bangsanya. Untuk melaksanakan pendidikan, setiap negara memiliki
sistem pendidikannya sendiri yang disesuaikan dengan
kepribadian dan tujuan nasional negara tersebut. Demikian juga Indonesia yang mengatur sistem pendidikan nasionalnya dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas).
Fungsi pendidikan menurut Pasal 3 UU
Nomor 20 (2003, p. 4) adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertanggung jawab.
Lampiran Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi (2006, p. 5) menetapkan setiap kelompok mata pelajaran memiliki cakupan
masing-masing. Untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
pada SMP/MTs/SMPLB, dalam hal ini termasuk IPS, cakupannya adalah “...untuk
memperoleh kompetensi dasar ilmu penge-tahuan dan teknologi serta membudayakan
berpikir ilmiah secara kritis, kreatif dan mandiri”.
Dengan dasar tersebut maka sudah seharusnya pembelajaran IPS diarahkan pada penguasaan kompetensi bukan hanya dalam pengetahuan saja tetapi juga dalam budaya berpikir
ilmiah yang kritis, kreatif dan mandiri. Hal ini
yang sering kurang
diperhatikan oleh guru yaitu membekali peserta didik dengan budaya berpikir ilmiah tersebut. Guru
sering hanya
terfokus pada penguasaan kompetensi dasar ilmu
pengetahuan semata dan tidak mengajarkan cara berpikir. Padahal, dengan memberikan bekal kompetensi berpikir ilmiah secara
kritis, kreatif dan mandiri, peserta didik akan dapat memperoleh
dan mengembangkan ilmu pengetahuan dengan usahanya sendiri.
Pada
umumnya, pembelajaran yang dilaksanakan masih bersifat teacher centered dan bukan student
centered. Hal ini disebabkan karena guru
seringkali kurang mempersiapkan diri di dalam
melaksanakan pembelajaran. Tanpa perencanaan dan persiapan yang matang guru
melaksanakan pembelajaran.
Metode yang paling banyak digunakan adalah dengan mengandalkan metode yang konvensional yaitu ceramah di mana suasana
pembelajaran “bersifat guru aktif, murid pasif”. Menghindari
hal tersebut, guru dituntut untuk mengembangkan diri pada kemampuan
pedagogiknya, sehingga guru mampu
menetapkan metode pembelajaran yang tepat sesuai materi yang diajarkan, memilih metode pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan, sehingga dapat meningkatkan keaktifan peserta didik, meningkatkan
gairah belajar, dan meningkatkan tanggung jawab peserta didik secara individu maupun kelompok yang
mendorong peningkatan kemampuan berpikir peserta didik.
Peningkatan kemampuan berpikir peserta didik merupakan
hal yang sangat penting bagi peserta didik karena cara peserta didik memperoleh pengetahuan tergantung
bagaimana cara berpikirnya. Menurut Vygotsky (1978, p. 51) “for the young
child, to think means to recall; but for the adolescent, to recall means to
think”. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa kanak-kanak berfikir artinya
mengingat sedangkan pada anak yang sudah dewasa mengingat artinya berpikir. Selanjutnya dinyatakan juga oleh Vygostky (1978, p. 88) bahwa “human learning
presupposes a specific social nature and a process by which children grow into
the intellectual life of those around them”. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa diperlukan
pengenalan lingkungan sosial kepada peserta didik untuk membangun kehidupan
intelektualnya. Apa
yang dipikirkan seseorang dipengaruhi oleh kondisi spesifik lingkungan
sosialnya. Jadi, pembelajaran yang baik seharusnya
memberikan bekal kepada anak untuk melatih cara berpikirnya agar dapat
digunakan untuk menghadapi situasi dan kondisi sosial yang dihadapinya.
Sementara pada masa globalisasi sekarang ini, di mana dunia dibombardir
dengan begitu banyak informasi yang mengalir dengan deras dari berbagai arah
akan memberikan dampak yang besar bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
Begitu banyak media informasi yang
tersedia seperti koran, majalah, televisi dan internet. Iklan dan pesan
yang bermunculan tentang apa yang harus dilakukan atau tidak dilakukan, tawaran
makanan instan, pilih produk ini atau itu, hindari narkoba, cintai produk dalam
negeri dan sebagainya. Beberapa
informasi tersebut mungkin
penting dan bermanfaat tetapi lebih banyak informasi yang harus diabaikan atau ditolak.
Pemikiran untuk mengikuti atau menolak sebuah informasi
untuk menjawab mengapa informasi tersebut harus diikuti atau ditolak, menuntut
sebuah alasan. Alasan tersebut sering menjadi justifikasi bagi tindakan yang
kemudian dilakukan. Menunjukkan alasan
biasanya adalah dengan memberikan argumen yang dapat mempengaruhi seseorang
meskipun argumen kadang diberikan untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Di sini
diperlukan kemampuan untuk menganalisis upaya seseorang untuk mempengaruhi
sehingga seseorang
dapat menginterpretasikan suatu perkataan atau
tulisan dan mengevaluasinya dengan atau tanpa argumen yang menyertainya
(Bowell & Kemp, 1965, pp. 1-4).
Pada umumnya pembelajaran hanya terfokus pada pengembangan kognitif peserta didik pada tataran
penguasaan pengetahuan dasar yaitu kemampuan
kognitif “mengingat” (C1). Menurut Bloom (Kuswana,
2012, p. 31) bahwa “mengingat” merupakan tataran terendah dalam tingkatan
perkembangan berpikir. Bloom membagi ranah pengetahuan (kognitif) ke dalam 6
tingkatan, yaitu: (C1) pengetahuan, (C2) pemahaman, (C3) penerapan, (C4)
analisis, (C5) sintesis, dan (C6) evaluasi.
Dengan melatih kemampuan berpikir tingkat tinggi, pembelajaran IPS akan menjadi
lebih bermakna, karena di samping mengajarkan tentang mengingat
fakta juga melatih kemampuan memahami, menganalisis, mensintesis, dan
mengevaluasi.
Kemampuan
memecahkan masalah sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, kemampuan memecahkan masalah membutuhkan kemampuan untuk
berpikir kritis. Dengan memberikan latihan berpikir kritis dalam pembelajaran
IPS maka diharapkan peserta didik dapat
menggunakan kemampuan berpikir kritis untuk menghadapi konteks kehidupannya
yang lebih luas.
Untuk itu, guru perlu melakukan proses pembelajaran yang
melibatkan peningkatan kemampuan berpikir peserta didik. Menurut Lipman (Kuswana, 2012,
p. 200) kemampuan berpikir terdiri
dari kemampuan berpikir kritis (critical
thinking), berpikir kreatif (creative
thinking), dan kepedulian (caring
thinking). Untuk meningkatkan
kemampuan berpikir kritis tentu memerlukan metode pembelajaran yang mampu melatih peserta didik berpikir kritis dan kreatif
dalam menemukan pengetahuan, yaitu pembelajaran inkuiri (enquiry), penalaran (reasoning), pembelajaran berbasis
masalah (problem based learning)
maupun pemecahan masalah (problem solving).
Dengan pemilihan metode yang tepat
diharapkan dapat memberikan proses pembelajaran yang berhasil dan bermakna.
Kenyataannya,
di SMP Negeri 1 Salaman, Kabupaten Magelang, di kelas VIII F guru belum pernah
melakukan pembelajaran yang berorientasi pada peningkatan kemampuan berpikir
kritis pada peserta didiknya. Hal tersebut, menunjukkan bahwa terdapat
kemungkinan rendahnya kemampuan berpikir kritis di kelas tersebut. Hal tersebut
terbukti dari observasi awal dengan hasil pre
test yang menunjukkan masih rendahnya kemampuan berpikir kritis peserta
didik kelas VIII F. Lihat Tabel 1.
Tabel 1. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor
Kemampuan Berpikir Kritis
Rendahnya
kemampuan berpikir kritis peserta didik terlihat pula pada saat observasi
pembelajaran di kelas, yaitu masih rendahnya jumlah siswa yang mengajukan
pertanyaan maupun dalam hal menanggapi sebuah pernyataan. Dapat mengajukan
pertanyaan merupakan salah satu tanda dari kemampuan berpikir kritis. Dilihat
dari bobot pertanyaan yang diajukan pun masih berkisar pada hal-hal yang belum
menunjukkan kemampuan berpikir kritis yang tinggi. Sementara itu, dilihat dari
capaian KKM, KKM klasikal yang dicapai pada saat pre test tersebut adalah sebesar 25%
dari jumlah peserta didik di kelas, yang menunjukkan masih jauh dari yang
ditetapkan oleh satuan pendidikan yaitu sebesar 80% (20 peserta didik)
mencapai KKM individual.
Untuk
mengatasi masalah di atas, salah satu metode
pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis
adalah problem solving. Dengan
menggunakan metode ini peserta didik diajarkan cara untuk menyelesaikan sebuah
permasalahan. Dalam memecahkan masalah terdapat langkah-langkah yang menuntut
kemampuan peserta didik untuk berpikir secara kritis. Dengan menerapkan metode problem solving peserta didik juga akan
mengetahui bagaimana cara untuk memecahkan sebuah persoalan. Cara pemecahan
masalah tersebut dapat diaplikasikannya untuk memecahkan masalah-masalah dalam
kehidupan nyata.
Media
pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
media informasi. Media informasi yang digunakan dapat bervariasi seperti media
cetak berupa teks atau gambar, media audio visual, maupun media interaktif
melalui internet.
Metode
ini selain memungkinkan peserta didik dapat memperoleh pengetahuan yang
direncanakan, sekaligus diharapkan dapat melatih peserta didik untuk berpikir
kritis sehingga peserta didik memiliki peningkatan dalam kemampuan berpikir
kritis. Dengan demikian, peserta didik akan mendapatkan bekal untuk menggunakan
kemampuan berpikirnya dalam menghadapi persoalan-persoalan lain dalam kehidupan
sehari-hari di masa kini maupun di masa yang akan datang.
Penelitian-penelitian tentang upaya peningkatan
kemampuan berpikir kritis dengan metode problem
solving antara lain dilakukan oleh Chilcoat & Ligon (2004, pp. 40-46) yang menulis artikel berjudul Issues-Centered
Instruction in the Social Studies Classroom: The Richard E. Gross Problem
Solving Approach Model (Social Studies Review; vol 44; no 1; 2004). Penelitian menjelaskan tentang
metode pembelajaran problem solving
yang digunakan oleh Richard E. Gross. Dari penelitian tersebut menunjukkan
bahwa Model Problem solving Richard
Gross dapat membentuk peserta didik dalam berbagai macam kemampuan pro-sosial
dan demokrasi pro-aktif, tanggung jawab, dan budi pekerti luhur yang diperlukan
dalam masyarakat.
Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Waring, Scott M. & Robinson, Kirk S.
(Middle School Journal Vol 42 No 1,
2010, pp. 22-28) dengan judul Developing
Critical and Historical Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Hasil
penelitian menunjukkan pentingnya mengembangkan kemampuan berpikir kritis.
Penelitian ini menunjukkan bahwa mengembangkan kemampuan berpikir kritis dapat
dilakukan dengan melibatkan pemecahan masalah (problem solving), membuat dugaan, memperkirakan kemung-kinan dan membuat keputusan. Hal
tersebut menunjukkan juga bagaimana berpikir kritis perlu diajarkan di sekolah
agar peserta didik dalam kehidupan nyata dapat menghadapi masalah dan memutuskan
tindakan yang harus dilakukan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Widana, A., Suhandana, A., & Atmadja B. dalam penelitiannya yang berjudul
“Pengaruh Model Pembelajaran Berorientasi Pemecahan Masalah Open-Ended Terhadap
Kemampuan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Biologi Siswa Kelas VII SMP Negeri
1 Kintamani” (e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Administrasi Pendidikan, Volume 4 Tahun 2013), menunjukkan
bahwa pembelajaran berorientasi pemecahan masalah open ended mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis siswa dan
hasil belajar biologi siswa.
Hasil penelitian tindakan kelas yang
dilakukan oleh Dike (2008) dalam tesisnya yang berjudul Peningkatan Kemampuan
Berpikir Kritis Siswa dengan Model TASC (Thinking
Actively in a Social Context) pada
Pembelajaran IPS SD. Tesis, tidak dipublikasikan. Pembelajaran IPS SD dengan menggunakan
model TASC terbukti mampu meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik.
Hal ini tampak dalam kegiatan pembelajaran di mana model TASC mampu menumbuhkan
rasa ingin atahu peserta didik (inquiri),
kerja sama sosial dalam belajar, pembiasaan budaya bertanya, kemampuan
menyampaikan pendiapat sehingga terbentuk budaya berpikir peserta didik (cultural thinking). Aspek berpikir
kritis dalam tesis tersebur digali dengan
menggunakan proses pembelajaran yang dirancang terfokus pada tiga aspek
kunci berpikir kritis model proses Peter Kneedler yaitu: (1) Kemampuan Definisi
dan Klarifikasi Masalah; (2) Kemampuan Menilai dan Mengolah Informasi; (3)
Kemampuan Solusi Masalah/Mengambil Kesimpulan.
Penelitian tesis ini menggunakan metode problem solving untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik sedangkan penelitian relevan menggunakan model TASC. Ada kesamaan
prinsip dalam kedua metode yaitu sama-sama menggunakan aktivitas “berpikir”.
Penelitian ini diharapkan pula dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis maupun praktis. Manfaat teoritis yang diharapkan antara lain pertama, hasil penelitian
diharapkan dapat memberikan penjelasan bagaimana penerapan metode
problem solving dalam
pembelajaran IPS sebagai upaya
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik, kedua metode pembelajaran problem solving diharapkan dapat digunakan sebagai cara yang
efektif dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik, dan ketiga hasil penelitian diharapkan dapat
untuk mengendalikan penerapan metode problem
solving dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik.
Manfaat Praktis yang diharapkan
adalah dapat bermanfaat secara praktis baik bagi guru, peserta didik, sekolah, dan
para peneliti lain. Bagi guru, penelitian ini pertama, dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam menerapkan metode pembelajaran metode problem solving untuk meningkatkan
kualitas pembelajaran, dan kedua, memberikan bahan pertimbangan dalam
menentukan metode pembelajaran yang memberikan manfaat yang lebih besar bagi
peserta didik. Manfaat praktis bagi peserta didik adalah pertama, proses
kegiatan belajar mengajar IPS di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten
Magelang dapat meningkat, kedua kemampuan berpikir kritis peserta didik di dalam proses pembelajaran IPS dapat
meningkat sehingga peserta didik dapat memperoleh pengetahuan dengan lebih
bermakna.
Manfaat bagi
Sekolah,
pertama, hasil penelitian diharapkan membantu
tercapainya tujuan pembelajaran, kedua memberikan sumbangan bagi sekolah
berupa perbaikan kegiatan pembelajaran yang diharapkan dapat mengoptimalkan
hasil belajar peserta didik dan juga meningkatkan kualitas sekolah, ketiga Hasil penelitian diharapkan dapat menciptakan
budaya penelitian untuk menganalisis masalah dan penemuan solusi
masalah-masalah pembelajaran di sekolah, dan keempat
meningkatkan
prestasi akademik IPS di SMP Negeri 1 Salaman serta peningkatan pember-dayaan
fasilitas sekolah seperti perpustakaan dan multimedia sebagai sumber informasi.
Manfaat bagi para
peneliti
antara lain: memberi
gambaran untuk penelitian selanjutnya, untuk mengetahui peningkatan kualitas pembelajaran secara efektif dan
efisien,
dan mengembangkan
kesimpulan dari penelitian untuk kajian penelitian
METODE PENELITIAN
Jenis
Penelitian
Penelitian
ini merupakan penelitian tindakan kelas (classroom
action research) yang digunakan dalam rangka untuk meningkatkan kemampuan
berpikir kritis peserta didik kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman dengan menggunakan metode problem
solving pada mata pelajaran IPS. Penelitian
ini menggunakan desain yang dikembangkan oleh Kemmis & Taggart (1990, p.
11) yang diilustrasikan dengan Gambar 1.
Gambar 1 Siklus
Model Kemmis & Taggart
Berdasarkan
Gambar 1, dapat diketahui tiga tahapan dalam
penelitian tindakan kelas menurut model bersiklus dari Kemmis & Taggart.
Model ini menggunakan empat komponen penelitian tindakan, yaitu: perencanaan,
tindakan dan observasi, serta refleksi (plan,
act & observe, and reflect) dalam
suatu sistem spiral yang saling terkait. Penelitian bertujuan untuk mengubah
situasi dan kondisi kini ke arah kondisi yang diharapkan (melibatkan aktivitas
berpikir kritis).
Waktu Penelitian
Waktu penelitian memakan waktu selama kurang lebih 2,5 bulan
dimulai pada bulan September 2013 sampai dengan bulan November
2013.
Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah di kelas VIII F SMP Negeri 1
Salaman yang berlokasi di Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang. Alamat SMP
Negeri 1 Salaman adalah di Jalan Diponegoro Kecamatan Salaman, Kabupaten
Magelang.
Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah peserta didik kelas VIII
F. Peserta didik di kelas VIII F
berjumlah 24 peserta didik, terdiri dari 12 peserta didik laki-laki dan 12
peserta didik perempuan. Penentuan subjek penelitian berdasarkan alasan bahwa
kelas VIII F termasuk kelas dalam peringkat bawah dibandingkan dengan kelas
pararel yang lainnya. Kekritisan peserta didik
masih dirasa kurang saat diminta untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Untuk
meningkatkan kemampuan berpikir kritis, diperlukan pembelajaran yang dapat
melibatkan peserta didik dalam aktivitas berpikir secara kritis.
Rencana Tindakan
Rencana
tindakan mengacu pada model PTK Kemmis & Taggart terdiri atas tiga tahapan
yaitu perencanaan, pelaksanaan dan observasi, dan refleksi. Tahap Perencanaan, pada tahap ini
hal-hal yang dilakukan adalah: (a) Peneliti membuat rencana tindakan
dan mendiskusikan dengan kolaborator (guru IPS di kelas VIII F) untuk
melaksanakan tindakan berdasarkan temuan-temuan pada observasi awal, (b) Kolaborator (guru kelas) bertindak
sebagai pelaksana tindakan dan peneliti sebagai observer (pengamat). Untuk itu, peneliti berkoordinasi dengan
kolaborator mengenai teknis pelaksanaannya, (c)
membuat dan menyusun perangkat kurikulum yang telah dikembangkan yaitu silabus
dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) disertai skenario pembelajaran dengan
menggunakan langkah-langkah metode problem
solving IDEAL Brandsford & Stein (1984, p. 12), yaitu identify, define, explore, act/anticipate,
dan looking back/learn, (d) membuat dan menyiapkan instrumen
penelitian seperti: pedoman wawancara, pedoman observasi untuk memantau
kemampuan berpikir kritis peserta didik dengan indikator-indikator kemampuan
berpikir kritis yang mengadaptasi pada indikator Kneedler dan catatan lapangan,
serta perangkat post test.
Tahap pelaksanaan tindakan dan observasi pada
pembelajaran ini ditempuh dengan mengikuti metode problem solving IDEAL, yang terdiri atas 5 tahap yaitu: tahap “Identify the problem, Define and represent
the problem, Explore possible strategies, Act on the strategies, dan Looking back and evaluate the effects of
your activities”. Tahap pelaksanaan,
terdiri atas kegiatan-kegiatan sebagai berikut. (a)
melakukan tindakan yang telah direncanakan oleh peneliti dan telah disepakati
bersama kolaborator terdiri atas. (1) Kegiatan
awal yaitu kegiatan yang dilakukan pada awal pembelajaran antara lain:
memberi motivasi dan apersepsi pada peserta didik, dan menginformasikan tujuan
pembelajaran dan konsep-konsep yang akan mereka pelajari, serta pengenalan
metode problem solving. (2) Kegiatan inti, yaitu pelaksanaan
pembelajaran dengan menggunakan problem
solving dengan menggunakan bantuan
media informasi yang disesuaikan dengan materi pembelajaran, peran guru dalam
hal ini adalah sebagai tutor dan fasilitator. Media informasi yang digunakan
bervariasi pada setiap siklusnya. Peserta didik dapat bekerja
secara individu atau di dalam kelompok-kelompok kerja untuk mendiskusikan
setiap permasalahan yang diberikan, melakukan langkah-langkah identifikasi
masalah dengan membuat pertanyaan-pertanyaan secara tepat, menganalisis dan
menilai informasi serta menginterpretasikan masalah untuk memberikan kesimpulan
atau solusi pemecahan masalah. Peserta didik kemudian memberikan presentasi
hasil kerja kelompoknya untuk didiskusikan bersama di dalam kelas. Pertanyaan
dan tanggapan peserta didik dalam diskusi kelas juga dicatat sebagai bagian
dari penilaian kemampuan berpikir kritis. (3) Penutup, yaitu memberikan kesimpulan dan evaluasi. Di akhir
kegiatan, guru mengakhiri proses serta menyimpulkan hasil kerja dan diskusi
kelompok/kelas. (b) melakukan tes
untuk mengukur hasil tindakan yaitu untuk mengetahui perubahan kemampuan
berpikir kritis sebelum dan sesudah tindakan.
Selama tindakan
dilakukan di kelas, maka observasi
dilakukan oleh peneliti meliputi proses berlangsungnya pembelajaran, dan
aktivitas peserta didik dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga hal-hal yang
terjadi selama pelaksanaan tindakan dapat dicatat mulai dari persiapan sampai
dengan akhir kegiatan. Agar observasi
berjalan maksimal maka digunakan kamera, catatan lapangan dalam bentuk jurnal
kegiatan dan lembar-lembar observasi.
Tahap refleksi, kegiatan refleksi dilakukan dengan cara
diskusi dengan pihak-pihak yang terkait setelah tindakan dilaksanakan, sehingga
ditemukan permasalahan yang akan ditarik kesimpulan apakah tindakan telah
sesuai dengan tujuan atau tindakan harus diadakan revisi untuk kegiatan yang
akan datang. Berdasarkan hasil refleksi maka disusun rencana tindakan
selanjutnya untuk perbaikan atas kelemahan-kelemahan dari tindakan sebelumnya.
Teknik dan Instrumen Pengumpulan Data
Teknik dan
instrumen pengumpulan data yang dilakukan yaitu: observasi, wawancara, dan tes.
Teknik observasi ditujukan untuk memperoleh data kemampuan berpikir kritis
peserta didik yang dikumpulkan dengan instrumen pengumpulan data berupa lembar
observasi ditambah dengan catatan lapangan untuk memperoleh gambaran tentang
berlang-sungnya kegiatan pembelajaran. Observasi sendiri meliputi observasi
terhadap guru, observasi terhadap peserta didik, dan observasi terhadap proses
pembelajaran.
Teknik
wawancara dilaksanakan terhadap guru kolaborator untuk mendapatkan informasi
tentang kemampuan berpikir kritis peserta didik, metode pembelajaran yang
digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar pada mapel IPS, dan
Informasi/pendapat/saran/ masukan dari rekan kolaborator dan pengamat tentang
proses pembelajaran, materi, kesulitan dan alternatif solusi. Instrumen untuk melaksanakan wawancara berupa lembar
panduan wawancara yang berisi sejumlah pertanyaan atau pernyataan yang
ditujukan kepada subjek penelitian/responden. Responden diminta untuk menjawab
atau merespon yang bisa mencakup fakta, data, pengetahuan, konsep, pendapat,
persepsi atau evaluasi responden berkenaan dengan fokus masalah atau variabel.
Peneliti juga
menggunakan tes sebagai alat pengumpulan data. Teknik pengumpulan data ini
digunakan untuk mengetahui informasi tentang hasil belajar peserta didik
terhadap materi yang dipelajari dengan metode problem solving. Instrumen yang digunakan berupa lembar tes tertulis yang dikembangkan
untuk menggali informasi tentang kemajuan dan pencapaian beberapa komponen
berpikir kritis selama proses pembelajaran pada setiap siklus.
Teknik Validasi Instrumen
Instrumen dalam
penelitian ini divalidasi melalui dua tahap. Tahap pertama, instrumen-instrumen
yang ada dikembangkan atau diadaptasi berdasarkan pendapat para ahli. Kedua,
instrumen yang telah dikembangkan tersebut dimintakan penilaian beberapa ahli
melalui konsultasi dan diskusi untuk proses perbaikan dan penyempurnaan (professional judgment). Para ahli yang
dimaksud adalah dosen pembimbing tesis, dosen ahli penelitian, dan dosen ahli
materi. Dengan cara ini instrumen dianggap valid dan dapat dipakai sebagai alat
untuk menggali dan mengumpulkan informasi/data.
Untuk memenuhi
standar ilmiah dan akademis, maka hasil analisis dikaji dan
dipertanggungjawabkan secara ilmiah pula melalui teknik keabsahan data. Teknik
triangulasi dilakukan dengan cara memeriksa atau mengecek ulang informasi hasil
pengamatan atau observasi peneliti dan pengamat, hasil wawancara, dan hasil
pencatatan lapangan pada setiap siklus. Kepentingan triangulasi dalam
pengumpulan data dimaksudkan untuk mendapatkan konsistensi, ketuntasan dan
kevalidan data, sehingga diperoleh data yang konsisten, tuntas dan pasti. Hal
ini sesuai dengan yang disimpulkan oleh Sukardi (2006: p. 111) bahwa
triangulasi merupakan teknik yang digunakan peneliti untuk melindungi peneliti
dari bias melalui cara membandingkan data dari beberapa informasi yang berbeda.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis ada yang digunakan adalah statistik
deskriptif persentase. Analisis deskriptif persentase digunakan untuk
menjelaskan terjadinya peningkatan secara persentatif terhadap kemampuan
berpikir kritis maupun hasil belajar peserta didik. Analisis data dalam
penelitian ini juga ditempuh melalui cara merefleksikan hasil pengamatan selama
pelaksanaan tindakan yang dilakukan pada setiap siklus. Proses ini dijalankan
secara kolaboratif antara peneliti, guru dan pengamat untuk melihat,
mengkaji, menilai dan mempertimbangkan dampak atau hasil tindakan selama proses
serta pencapaian hasil dari tindakan yang dilakukan.
Analisis kemampuan berpikir kritis peserta didik meliputi 3 aspek pengukuran berpikir kritis dengan 3 indikator
pada masing-masing aspek sehingga terdapat 9 indikator. Masing-masing indikator
dinilai dengan rentang skor penilaian 1, 2, dan 3. Setiap skor memiliki
kriteria penilaian tertentu yang mengacu pada pedoman penilaian skor kemampuan
berpikir kritis
yang mengacu pada pendapat Kneedler
(1988: p. 277). Untuk menentukan rentang kriteria
penilaian kemampuan berpikir kritis peserta didik dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Rentang
Penilaian Kemampuan Berpikir Kritis (skor 1-100)
Interval
Nilai |
Interpretasi |
X ≥ 74,07 |
Kritis |
74,07 > X
≥ 66,67 |
Cukup kritis |
66,67 > X ≥ 59,26 |
Kurang kritis |
X < 59,26 |
Tidak kritis |
(Sumber: diadaptasi dari Mardapi: 2008, p. 123)
Keterangan:
X
adalah skor yang dicapai peserta didik
Analisis Hasil Belajar Peserta Didik
Uji
ketuntasan belajar peserta didik dilakukan dengan menjumlahkan skor hasil
belajar. Uji ketuntasan belajar dilakukan dengan menjumlahkan skor hasil
belajar peserta didik dengan sistem penilaian diberikan dalam skala angka
1-100. Nilai hasil tes yang ditentukan dengan menggunakan standar mutlak atau
mengacu pada Penilaian Acuan Patokan (PAP) untuk memperoleh nilai peserta didik secara individu dan nilai rata-rata
kelas diperoleh melalui rumus berikut.
Perhitungan
Ketuntasan Belajar Individu
Skor yang diperoleh
Skor maksimal
Perhitungan
Ketuntasan Klasikal
Jumlah peserta didik mencapai KBI
Jumlah seluruh peserta didik
Penilaian
hasil belajar yang diperoleh
masing-masing individu dalam mencapai ketuntasan individual dihitung
persentasenya pada setiap siklus. Persentase ketuntasan tersebut kemudian
diperbandingkan dari setiap siklusnya untuk memperoleh gambaran peningkatan
yang dicapai.
Kriteria Keberhasilan
Tindakan
Keberhasilan
tindakan dapat diukur berdasarkan skor yang diperoleh peserta didik. Skor yang
diperoleh menunjukkan daerah kemampuan berpikir kritisnya yaitu “kritis”, “cukup kritis”, “kurang kritis” dan “tidak kritis”. Jika sesudah diterapkannya metode problem solving, peserta didik
memperoleh rata-rata skor yang lebih
tinggi dari rata-rata skor awal (pra siklus), maka terjadi peningkatan
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Dengan demikian maka dapat disimpulkan
tindakan telah berhasil mencapai kriteria seperti yang diharapkan.
Dari data hasil belajar yang diperoleh melalui tes pada tiap akhir siklus, kriteria keberhasilan tindakan
ditetapkan sebagai berikut: ketuntasan
belajar individu mencapai nilai 80 sesuai KKM individual. Setiap peserta didik
yang telah mencapai nilai 80 dari tes hasil belajar maka peserta didik telah
mencapai ketuntasan belajar individu. Ketuntasan belajar klasikal mencapai 80% peserta didik di dalam kelas
tersebut telah mencapai ketuntasan belajar individu. Dalam hal ini, dengan
menghitung persentase peserta didik yang telah mencapai ketuntasan individu
dalam kelas penelitian tindakan dengan kriteria 80% dari keseluruhan peserta
didik telah mencapai nilai 80.
Tindakan
dihentikan apabila jumlah peserta didik di dalam kelas tersebut yang dapat
mencapai nilai 80 atau lebih sebanyak 80% dari keseluruhan jumlah siswa di
kelas. Jumlah peserta didik dalam kelas penelitian adalah 24, maka harus
terdapat 20 siswa atau lebih yang mampu mencapai nilai 80. Sehingga bila kedua
kriteria di atas telah terpenuhi maka penelitian tindakan dinyatakan telah
berhasil sesuai yang diharapkan.
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Persiapan Perencanaan Tindakan
Rancangan pembelajaran ditujukan terutama untuk
meningkatkan kualitas pembelajaran IPS dengan menggunakan metode problem solving IDEAL menurut Brandford
and Stein. Skenario pembelajaran
diarahkan pada bagaimana cara untuk melibatkan peserta didik secara aktif dalam
pembelajaran yang menuntut mereka dalam mengerahkan kemampuan berpikirnya.
Peserta didik diarahkan untuk memahami langkah-langkah dalam problem solving yang di dalamnya
terkandung aspek-aspek dalam berpikir kritis. Keaktifan peserta didik dalam pembelajaran
juga merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam pembelajaran maka hal ini
perlu diupayakan secara maksimal.
Upaya yang perlu dilakukan antara lain dengan membebaskan
siswa untuk memperoleh berbagai informasi yang mereka perlukan dalam mencari
pemecahan masalah yang diberikan. Oleh karena itu, untuk mendukung pembelajaran
penelitian ini menggunakan media pembelajaran yang berupa media informasi.
Media informasi yang dimaksud adalah media informasi berupa media visual, teks,
maupun audiovisual yang telah dirancang untuk diberikan kepada peserta didik
sebagai masalah yang harus dipecahkan.
Deskripsi
tindakan Siklus I, diawali dengan Rencana Tindakan Siklus I yang terdiri atas
kegiatan: (a) menyusun rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP), (b) menyiapkan
media pembelajaran, (c) menyusun
pedoman observasi untuk mengamati kegiatan pembelajaran, dan (d)
menyusun instrumen tes untuk menilai kemampuan berpikir kritis. Pencapaian
kemampuan berpikir kritis pada peserta didik diukur dengan post test yang sekaligus merupakan tes untuk memperoleh nilai hasil
belajar peserta didik siklus I, dan (e) menyiapkan perlengkapan wawancara, catatan lapangan dan dokumentasi
visual pelaksanaan pembelajaran.
Pelaksanaan
tindakan kelas pada siklus I dilaksanakan
pada tiga tatap muka. Materi yang
dipelajari adalah KD 2.2 yaitu “Menguraikan proses terbentuknya kesadaran
nasional, identitas Indonesia, perkembangan pergerakan kebangsaan Indonesia”. Kegiatan
pembelajaran dilakukan dengan mengacu pada metode problem solving yang dikemukakan oleh Brandsford dan Stein yang
terdiri atas lima langkah. Lima langkah tersebut berupa akronim IDEAL yaitu identification, definition, exploration,
anticipate, dan look back.
Pada pertemuan
pertama, dilaksanakan tiga langkah yaitu Identifying, Defining problems dan Exploring.
Langkah Identifying
atau identifikasi
Pada
langkah pertama, identifikasi
masalah, peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa yang sedang mereka
hadapi. Tugas yang diberikan guru sebenarnya sudah menjadi persoalan bagi
peserta didik yaitu bagaimana mereka mewujudkan produk yang diminta oleh guru
untuk membuat majalah dinding. Mereka harus mengidentifikasi hal-hal apa yang
harus mereka lakukan agar tugas tersebut terwujud.
Selain
itu, masalah terpenting yang mereka hadapi adalah bagaimana menyajikan
informasi dibalik gambar-gambar yang diberikan dalam lembar kerja. Guru harus
mendorong peserta didik untuk menumbuhkan rasa ingin tahu tentang suatu hal
dengan meminta setiap peserta didik menuliskan pertanyaan-pertanyaan yang
timbul dalam pemikiran mereka sebelum mereka mencari informasi. Timbulnya
pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting bagi mereka karena akan mengarahkan
informasi-informasi apa yang harus mereka peroleh. Pada tahap ini, peserta
didik harus menggunakan kemampuan berpikir yang kritis.
Kemudian
setiap kelompok berdiskusi secara aktif untuk mengidentifikasi hal-hal yang
harus mereka pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok, bagaimana
memperoleh sumber informasi, dan merumuskan bentuk majalah dinding yang harus
mereka sajikan. Pada kegiatan ini peserta didik dapat diamati mana yang aktif dalam
kelompok dan mana yang masih pasif. Guru disini berperan sebagai motivator dan
fasilitator yang mendorong peserta didik untuk selalu aktif dan memberikan
penjelasan bila ada pertanyaan dari peserta didik.
Langkah Defining
Problems atau mendefinisikan masalah
Pada
langkah kedua, mendefinisikan masalah,
dengan bimbingan guru peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan
pemecahan masalah. Peserta didik juga didorong untuk menggali ide dan gagasan
sebanyak mungkin untuk merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai informasi
yang diperoleh peserta didik dapat menentukan informasi mana yang paling
relevan dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi. Dalam aktivitas ini peserta didik diarahkan
untuk mengerahkan kemampuan berpikir kritisnya. Langkah identifikasi dan
definisi dalam indikator berpikir kritis termasuk ke dalam unsur “definisi dan
klarifikasi masalah”.
Langkah Exploring
atau Eksplorasi
Langkah
ketiga, eksplorasi,
yaitu peserta didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah yang mereka
hadapi. Mereka akan merasa bangga dan bertanggung jawab untuk memecahkan
masalah dengan caranya sendiri. Kemudian mereka mulai bekerja dalam kelompok
masing-masing dengan mengumpulkan bahan-bahan informasi yang dibutuhkan dan
penyusunannya. Media yang disediakan
oleh guru adalah berbagai sumber sejarah berupa media informasi cetak seperti
buku-buku sejarah berbagai pengarang, buku album perjuangan bangsa dan buku
ensiklopedi Indonesia. Siswa dibebaskan untuk memilih sumber yang dikendaki dan
boleh lebih dari satu sumber.
Pertemuan kedua melanjutkan
langkah eksplorasi berikutnya yaitu melakukan presentasi Langkah
eksplorasi pada pertemuan sebelumnya sudah ada akan tetapi belum tuntas
seluruhnya. Salah satu indikator langkah ketiga ini adalah mempresentasikan
masalah. Dalam hal ini, presentasi yang dilakukan peserta didik secara
berkelompok adalah presentasi hasil tugas berupa majalah dinding. Setiap
kelompok diberi waktu masing-masing 15 menit dengan perincian 8 menit untuk
presentasi dan 7 menit untuk menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok
lain (digabung dengan langkah keempat).
Langkah Anticipate
and Act atau Antisipasi dan Aksi
Pada
langkah keempat, antisipasi dan aksi, peserta
didik setelah selesai presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari
kelompok lain. Guru sebagai fasilitator juga memberikan konfirmasi atas
beberapa tanggapan maupun jawaban yang kurang tepat. Setiap kelompok yang maju
juga mencatat kritikan dan hambatan yang dialami dalam penyelesaian tugas.
Peserta didik pada langkah eksplorasi, antisipasi dan aksi diarahkan untuk mengerahkan
kemampuan berpikir kritis yaitu pada unsur “menilai dan mengolah informasi yang
berhubungan dengan masalah”.
Langkah Look and
Learn atau Lihat dan Pelajari
Pertemuan ketiga melaksanakan
langkah kelima dalam problem solving yaitu
look and learn. Pada langkah kelima ini peserta didik diajak melakukan observasi terhadap keputusan dalam penyelesaian tugas. Hal di atas merupakan tahapan yang paling sulit. Pada
langkah ini peserta didik betul-betul dituntut untuk berpikir secara kritis
tentang berbagai hal yang sudah dilakukannya bersama teman-teman dalam satu
kelompok. Dalam aktivitas ini peserta
didik dinilai kemampuan berpikir kritisnya pada unsur “solusi masalah/membuat kesimpulan/ memecahkan masalah”. Dengan demikian ketiga unsur
kemampuan berpikir kritis (menurut Kneedler) sudah tercakup ke dalam
langkah-langkah dalam metode problem
solving IDEAL.
Di akhir siklus
I, dilaksanakan post test untuk
mengukur hasil belajar kognitif . Soal yang diberikan sudah dirancang dengan memasukkan
indikator-indikator kemam-puan
berpikir kritis seperti membuat pertanyaan dan pernyataan, menilai hubungan
antar pernyataan, mencari sebab-sebab kejadian, membuat prediksi tentang suatu
kejadian dan juga membuat kesimpulan dari suatu persoalan. Jumlah soal sebanyak
6 soal yang terdiri atas berbagai variasi soal yaitu uraian dan pilihan ganda
dengan variasi.
Observasi Tindakan Siklus I
Observasi
atau
pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus I meliputi observasi terhadap jalannya
pembelajaran, observasi terhadap guru, dan observasi terhadap siswa. Hasil observasi secara umum pada
awal pembelajaran dengan metode ini baik guru maupun peserta didik masih
mengalami kendala. Guru karena baru pertama kali menggunakan metode ini masih
kikuk, sedangkan peserta didik masih belum paham cara melakukannya. Namun pada
pertemuan berikutnya pembelajaran mulai berjalan lancar. Peneliti dan
kolaborator lain dapat mengamati bahwa selama pembelajaran suasana kelas cukup
antusias dan terlihat hanya beberapa peserta didik yang belum begitu
menunjukkan indikator-indikator kemampuan berpikir kritisnya.
Dilihat dari hasil observasi,
maka terlihat bahwa sudah terdapat peningkatan kemampuan berpikir kritis jika
dibandingkan dengan hasil pada pra siklus. Jumlah peserta yang mencapai
kriteria “kritis” sejumlah 14 peserta didik meningkat daripada sebelumnya
ketika pra siklus sejumlah 4 peserta didik. Lihat Tabel 3.
Dari
hasil post test siklus I diperoleh
data bahwa terdapat 12
peserta didik yang tuntas atau mampu mencapai nilai KKM (nilai 80) dan 12
peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu mencapai nilai KKM.
Nilai rata-rata kelas yang diperoleh adalah 76. Secara klasikal, ketuntasan
belajar pada post test tersebut
sebesar 50% yang menunjukkan belum tercapainya ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam
KTSP sebesar 80%. Meskipun demikian, sudah terdapat peningkatan
dibandingkan dengan hasil pre test yang
baru mencapai rata-rata kelas sebesar 68 dengan ketuntasan klasikal sebesar
25% (6 orang).
Tabel
3. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan Kriteria Skor Kemampuan Berpikir
Kritis pada
Siklus
I
Refleksi Tindakan Siklus I
Para peserta didik pada siklus I ini cukup serius dan
tertarik dengan metode pembelajaran problem
solving IDEAL yang belum pernah dialami. Media pembelajaran yang digunakan
cukup menantang peserta didik karena diberikan gambar yang menimbulkan tanda
tanya bagi para peserta didik. Aktivitas peserta didik tampak meningkat ketika
diberikan tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa yang mereka ingin
ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian informasi. Meskipun masih
terdapat beberapa peserta didik yang kurang memperhatikan atau mengobrol
sendiri, secara umum pembelajaran dapat berjalan dengan baik. Hal ini
menyebabkan adanya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar pada
siklus I dari pada sebelum diberikan tindakan. Refleksi pelaksanaan
pembelajaran pada siklus I adalah perlu dilanjutkannya tindakan untuk siklus II
agar dapat meningkatkan hasil belajar kognitif dan kemampuan berpikir kritis
peserta didik hingga mencapai KKM klasikal.
Deskripsi
Tindakan Siklus II
Deskripsi
tindakan Siklus II, langkah-langkah yang
pada Siklus II ini sama dengan
yang dilaksanakan pada Siklus I . Perbedaannya adalah pada variasi penggunaan
media informasi. Jika pada siklus I media informasi yang digunakan adalah media
gambar dan teks, maka pada siklus II ini digunakan media informasi berupa teks
(petikan berita di koran) dan media internet. Tugas problem solving yang diberikan pada Siklus II ini adalah membuat
opini dari petikan berita di koran.
Pelaksanaan tindakan kelas pada siklus II
dilaksanakan pada dua tatap. Kegiatan pembelajaran masih menurut sintaks IDEAL
yaitu identification, definition,
exploration, anticipate, dan look
back.
Pertemuan
pertama siklus II
dilaksanakan
dengan diawali pemberitahuan tujuan pembelajaran
pada KD. 3.1
ini dan penjelasan awal penyakit-penyakit
sosial oleh guru. Setelah itu guru menjelaskan metode
problem solving
untuk digunakan
dalam pembelajaran. Peserta
didik mendengarkan penjelasan tersebut sambil menyimak tayangan power point di depan kelas. Kemudian,
guru memberikan masalah berupa tugas untuk membuat sebuah tulisan berupa opini dengan topik
tentang penyakit sosial sebagai akibat penyimpangan sosial.
Pada pertemuan pertama ini, dilaksanakan tiga langkah
yaitu Identifying, Defining problems dan
Exploring.
Langkah Identifying
atau Identifikasi
Pada
langkah pertama
ini, identifikasi masalah, peserta didik didorong untuk menyadari masalah apa
yang sedang mereka hadapi.
Untuk membuat opini, mereka harus membaca terlebih dahulu sebuah cuplikan
berita dari koran yang berbeda untuk setiap kelompok. Kemudian merekan berdiskusi untuk
memutuskan informasi tambahan apa yang diperlukan untuk membuat karya opini
mereka.
Kemudian setiap kelompok berdiskusi secara aktif untuk mengidentifikasi
hal-hal yang harus mereka pecahkan seperti pembagian tugas dalam kelompok,
bagaimana memperoleh sumber informasi, dan menentukan gagasan utama dalam opini. Peran guru dalam tahap ini adalah
sebagai motivator dan fasilitator. Guru sekaligus mengamati keaktifan peserta
didik dalam setiap kelompoknya.
Langkah Defining
Problems atau Mendefinisikan Masalah
Pada langkah kedua, mendefinisikan masalah, dengan
bimbingan guru peserta didik dibantu untuk mendefinisikan tujuan pemecahan
masalah. Peserta didik juga didorong untuk menggali ide dan gagasan sebanyak
mungkin untuk merumuskan masalah. Kemudian dari berbagai informasi yang
diperoleh peserta didik dapat menentukan informasi mana yang paling relevan
dalam menyelesaikan masalah yang mereka hadapi.
Langkah identifikasi dan definisi dalam indikator berpikir kritis
termasuk ke dalam unsur “definisi dan klarifikasi masalah”. Dengan demikian,
peserta didik mulai belajar meningkatkan kemampuan berpikirnya.
Langkah Exploring
atau Eksplorasi
Langkah ketiga adalah
eksplorasi yaitu peserta didik menemukan sendiri cara penyelesaian masalah
yang mereka hadapi. Mereka
harus mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mereka susun sendiri
sebelumnya. Media yang
disediakan oleh guru adalah buku-buku
pelajaran IPS juga akses internet untuk memperoleh informasi lebih banyak.
Pertemuan kedua siklus II dilaksanakan langkah-langkah
berikut. Langkah eksplorasi pada pertemuan sebelumnya sudah ada
akan tetapi belum tuntas seluruhnya. Salah satu indikator langkah ketiga ini
adalah mempresentasikan masalah. Setiap kelompok diberi waktu masing-masing 15
menit dengan perincian 8 menit untuk presentasi dan 7 menit untuk menerima
tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain.
Langkah Anticipate
and Act atau Antisipasi dan Aksi
Pada langkah ini, peserta didik setelah selesai
presentasi menerima tanggapan dan pertanyaan dari kelompok lain. Guru sebagai
fasilitator juga memberikan konfirmasi atas beberapa tanggapan maupun jawaban
yang kurang tepat. Setiap kelompok yang maju juga mencatat kritikan dan
hambatan yang dialami dalam penyelesaian tugas. Peserta didik pada langkah
eksplorasi, antisipasi dan aksi diarahkan untuk mengerahkan kemampuan berpikir
kritis yaitu pada unsur “menilai dan mengolah informasi yang berhubungan dengan
masalah”.
Pada
akhir pembelajaran silus
II ini, peserta didik diberikan post test atau tes yang dapat digunakan untuk mengevaluasi
kemampuan berpikir kritis peserta didik. Hasil
tes siklus II ini akan dibandingkan dengan hasil tes siklus I untuk mengetahui
ada tidaknya peningkatan yang diharapkan.
Observasi Tindakan Siklus II
Observasi
atau pengamatan terhadap pelaksanaan tindakan pada siklus II meliputi observasi terhadap jalannya
pembelajaran, observasi terhadap guru, dan observasi terhadap peserta didik. Pada siklus II suasana
pembelajaran cukup menyenangkan. Para peserta didik terlihat cukup antusias mengikuti
pembelajaran terutama
ketika ditayangkang beberapa berita mengenai penyakit-penyakit sosial yang
muncul di masyarakat. Pada siklus
II guru terlihat lebih
menguasai metode problem solving ini. Ketika pada
tahap kerja kelompok guru mampu menjadi motivator dan fasilitator. Peserta
didik juga sudah lebih memahami langkah-langkah yang harus dijalankannya.
Observasi kemampuan berpikir kritis peserta didik berdasarkan hasil
observasi kemampuan berpikir kritis siklus II, dapat disimpulkan sebaran
kemampuan berpikir kritis siswa sesuai dengan kriteria di atas dalam Tabel 4
sebagai berikut.
Pada akhir siklus II diadakan ulangan harian berupa post test yang ditujukan
untuk mengetahui hasil belajar kognitif peserta didik. Dari hasil post test siklus II, nilai rata-rata kelas mencapai 83. Jumlah
peserta didik yang tuntas belajar atau mampu mencapai nilai KKM sebanyak 20
orang dan 4 peserta didik yang lainnya tidak tuntas atau tidak mampu mencapai
nilai KKM. Secara klasikal, ketuntasan belajar post test siklus II tersebut adalah sebesar 83% yang menunjukkan
tercapainya ketuntasan klasikal yang ditetapkan dalam KTSP sebesar 80%.
Tabel 4. Rekapitulasi Jumlah Peserta Didik dengan
Kriteria Skor Kemampuan Berpikir Kritis pada Siklus II
Refleksi siklus II
Para peserta didik pada siklus II ini sudah lebih
memahami metode pembelajaran problem
solving IDEAL yang telah digunakan pada siklus sebelumnya. Aktivitas siswa
tampak meningkat ketika diberikan tugas dalam kelompok untuk mengapreasiasi apa
yang mereka ingin ketahui dan apa yang mereka peroleh dalam pencarian
informasi. Peserta didik yang kurang memperhatikan sudah lebih berkurang dan
mereka cukup serius menjalankan tugasnya. Secara umum pembelajaran dapat
berjalan dengan baik. Hal ini menyebabkan adanya peningkatan hasil belajar pada
siklus II dari pada siklus I. Refleksi pelaksanaan pembelajaran pada siklus
II adalah sebagai Pada siklus II ini
target pencapaian hasil belajar kognitif dan peningkatan kemampuan berpikir
kritis yang didorong dengan peningkatan aktivitas belajar peserta didik pada
siklus II ini sudah tercapai. Oleh karena tujuan tindakan sudah tercapai, maka
tidak diperlukan lagi tindakan atau siklus berikutnya.
Untuk
meningkatkan
kemampuan berpikir kritis pada pembelajaran IPS di kelas VIII-F, peneliti
menerapkan pembelajaran metode problem
solving IDEAL dengan variasi media informasi sebagai media pembelajaran.
Variasi media pembelajaran ditentukan pada awal pembelajaran siklus pertama dan
hasil dari refleksi setiap siklusnya. Penggunaan variasi media dan metode pembelajaran
disajikan pada tabel 5.
Kemudian,
bagaimana penerapan metode problem
solving IDEAL berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS yang
berpengaruh pada peningkatan kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar
dibahas sebagai berikut. Kemampuan berpikir kritis peserta didik dari pra
siklus, siklus I dan siklus II mengalami peningkatan. Dari ketiga aspek
kemampuan berpikir kritis yaitu kemampuan definisi dan klarifikasi masalah,
kemampuan menilai dan mengolah informasi dan kemampuan solusi masalah/membuat
kesimpulan kesemuanya menunjukkan adanya peningkatan. Hal ini dapat diamati
melalui sajian Tabel 6.
Tabel
5. Variasi Media Pembelajaran Siklus I dan II Metode problem solving IDEAL berbantuan media informasi
No. |
Tahap Pembelajaran |
Siklus I |
Siklus II |
1 |
Pendahuluan: Appersepsi dan
Motivasi |
Power
point tayangan
berupa gambar diam/foto sejarah |
Power point tayangan berupa gambar
bergerak/ video |
2 |
Inti |
-
Lembar Kerja -
Foto dan gambar bersejarah -
Buku-buku, album sejarah perjuangan |
-
Lembar Kerja -
Kliping berita dari Koran -
Buku-buku, akses internet |
Tabel 6.
Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek pada Pra siklus, Siklus I dan Siklus II
No |
Aspek |
Pra Siklus |
Siklus I |
Siklus II |
1 |
Definisi dan
klarifikasi |
68,98 |
76,39 |
82,87 |
2 |
Menilai informasi |
65,28 |
76,85 |
81,92 |
3 |
Memecahkan masalah |
56,48 |
66,67 |
76,39 |
Rerata Aspek |
63,58 |
73,30 |
80,40 |
Dari
Tabel 6 terlihat bahwa ada peningkatan kemampuan berpikir kritis peserta didik
yang ditunjukkan dengan peningkatan skor yang diperoleh. Pada aspek definisi
dan klarifikasi jika dibandingkan antara hasil pra siklus dengan siklus I
mengalami peningkatan dari 69 menjadi 76 atau meningkat sebesar 10,14% dan dari
siklus I ke siklus II meningkat lagi menjadi 83 atau meningkat sebesar 9,21%. Pada
aspek menilai informasi juga terdapat peningkatan dari pra siklus ke siklus I
yaitu dari 65 menjadi 77 atau sebesar 18,46%, dan meningkat lagi pada siklus II
menjadi 82 atau meningkat sebesar 6,49%. Demikian juga pada aspek memecahkan
masalah atau membuat kesimpulan juga terdapat peningkatan dari pra siklus ke
siklus I sebesar 19,64% yaitu dari 56 menjadi 67 dan pada siklus II meningkat
menjadi 76 atau 13,43%.
Bila dibandingkan peningkatan
reratanya maka dari pra siklus ke siklus I meningkat sebesar 14,06% dan dari
siklus I ke siklus II meningkat sebesar 9,59%. Jika dibandingkan hasil pra
siklus dengan hasil akhir (sieklus II) maka peningkatan yang terjadi adalah
sebesar 25%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui Gambar 3.
Gambar
3. Grafik Kemampuan Berpikir Kritis per Aspek
Berdasarkan data di atas, dapat
dianalisis bahwa kemampuan berpikir kritis yang terbesar adalah dari aspek
pertama yaitu aspek definisi dan klarifikasi masalah. Aspek ini cukup penting
dikuasai peserta didik sebagai jalan untuk mengetahui permasalahan yang sedang
dihadapi. Pada aspek menilai informasi diperoleh skor rerata yang lebih rendah
menurut peneliti disebabkan karena aspek ini memang lebih sulit untuk dikuasai.
Pada aspek menilai informasi peserta didik terkadang kebingungan untuk
menentukan informasi yang penting dan relevan. Guru perlu menunjukkan bahwa
ketepatan dalam definisi dan klarifikasi menentukan bagaimana menilai informasi
yang diterima dengan lebih mudah.
Pada
aspek memecahkan masalah/ membuat kesimpulan juga memperoleh skor yang lebih
rendah. Hal ini menurut peneliti karena peserta didik belum terbiasa untuk
menganalisa suatu persoalan berdasarkan informasi yang telah dikumpulkannya
sehingga dapat membuat keputusan. Sebaiknya guru lebih sering mengajarkan
peserta didik untuk belajar mengambil keputusan sendiri dan menghargai apa pun
keputusannya agar anak dapat mengetahui apakah keputusannya benar atau salah.
Pelaksanaan
tindakan penelitian kelas pada akhirnya mencapai ketuntasan belajar setelah
siklus II. Dari data hasil belajar kognitif pra siklus, siklus I, dan siklus II
dapat dilihat perkembangan yang dicapai melalui rata-rata nilai pada setiap
siklusnya. Perbandingan hasil belajar kognitif pada setiap siklusnya dapat
dilihat dalam Tabel 7.
Tabel
7. Tabel Perbandingan Hasil Belajar
pada
Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II
(n= 24)
|
Dari
tabel tersebut terlihat bahwa terjadi peningkatan capaian hasil belajar
kognitif yang dilaksanakan setiap akhir siklus dibandingkan dengan sebelum
diberikannya tindakan (pra siklus). Pada siklus I sudah dilaksanakan tindakan
akan tetapi hasil belajar belum mencapai ketentuan KKM yaitu 80, meskipun sudah
terdapat peningkatan dibandingkan hasil belajar pada pra siklus. Rata-rata
kelas pada siklus I mencapai 76 sementara KKM yang ditentukan adalah 80. Jadi
pada Siklus I hasil belajar kognitif belum dapat mencapai harapan sesuai
ketentuan KKM.
Tabel 8. Pencapaian KKM secara
klasikal pada Pra Siklus, Siklus I, dan Siklus II
|
Sementara
itu, pada capaian hasil belajar secara klasikal, pada siklus I ada 12 peserta
didik yang nilainya mencapai KKM (80) atau 50% dari seluruh peserta didik. Hal
ini juga belum memenuhi KKM klasikal yang diharapkan yaitu 80% dari seluruh peserta didik dapat mencapai
nilai 80.
Karena
hal tersebut di atas, maka tindakan dilanjutkan pada siklus II dan hasil yang
diperoleh menunjukkan peningkatan. Nilai rata-rata kelas tercapai 83 yang
berarti sudah di atas KKM. Jumlah peserta didik yang mencapai nilai sesuai KKM
sebanyak 20 orang atau sebanyak 83% peserta didik telah tuntas (lihat Tabel 8).
Hal ini menunjukkan pada akhir siklus II sudah tercapai ketuntasan yang
diharapkan. Maka, tindakan penelitian tidak perlu dilanjutkan dan diakhiri
hingga siklus II.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian tentang penerapan metode
pembelajaran problem solving berbantuan
media informasi dapat disimpulkan sebagai berikut. Penerapan metode problem solving berbantuan media
informasi dalam pembelajaran IPS untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis
peserta didik di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata
dapat meningkatkan kualitas pembelajaran. Setelah penerapan metode problem solving dalam pembelajaran IPS
di kelas VIII F SMP Negeri 1 Salaman Kabupaten Magelang ternyata dapat
meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik. Jumlah peserta didik yang
mencapai kriteria “kritis” pada pra siklus sebanyak 4 peserta didik. Setelah
tindakan, jumlah peserta didik dengan kriteria “kritis” pada siklus I sebanyak
14 orang atau 58,33% (belum mencapai
kriteria keberhasilan tindakan) dan pada siklus II sebanyak 22 orang atau
91,67% (sudah mencapai kriteria keberhasilan tindakan). Dari data tersebut,
dapat disimpulkan bahwa penerapan metode pembelajaran problem solving berbantuan media informasi pada pembelajaran IPS
dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis peserta didik di kelas VIII F SMP
N 1 Salaman Kabupaten Magelang Tahun pelajaran 2013/2014.
Saran
Saran untuk guru
antara lain: guru menerapkan pembelajaran metode problem solving berbantuan
media informasi untuk materi pembelajaran apa pun. Selain itu, guru
dalam menerapkan metode problem solving sebaiknya menguasai langkah
pembelajaran dengan baik dan mampu merumuskan permasalahan yang akan dibahas
dengan akurat. Dalam menerapkan pembelajaran metode problem solvin, disarankan untuk guru sebaiknya melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
memperhatikan alokasi waktu supaya dapat tercapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Saran kepada institusi antara lain: pembelajaran metode problem solving dapat digunakan sebagai salah satu alternatif dalam kebijakan
pengembangan kurikulum sekolah, khususnya pada pembelajaran IPS di SMP. Selain
itu, metode problem solving berbantuan dapat digunakan dalam
pengembangan profesi guru, terutama dalam inovasi pembelajaran. Metode problem solving juga dapat digunakan sebagai salah satu alat pengembangan
proses pembelajaran sehingga dapat meningkatkan hasil terutama pada ranah kognitif
dengan fokus pada kemampuan berpikir kritis. Saran untuk peneliti lain yaitu hasil
penelitian dapat berguna untuk lebih banyak menemukan penggunaan variasi media
pembelajaran yang sesuai bagi pembelajaran IPS dengan metode problem
solving.
Daftar Pustaka
Bowell, Tracy & Kemp, Gary. (2002). Critical thinking a concise guide. New York:
Routledge.
Brandsford,
John D., & Stein,
Barry S. (1984). The IDEAL problem solver
a guide for improving thinking, learning, and creativity. New York: W.H. Freeman
and Company.
Chilcoat,
George W. & Ligon, Jerry A. (2004: 40-46). Developing critical and
historical thinking skills in middle grades social studies. Social Studies Review Vol 44 No 1 (Fall 2004, ProQuest Education
Journals.
Dike,
Daniel. (2008). Peningkatan kemampuan berpikir kritis
peserta didik dengan model TASC (Thinking
Actively in a Social Context) pada pembelajaran IPS SD. (Tesis belum
dipublikasikan). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Negeri
Yogyakarta.
Kemmis,
Stephen., McTaggart, &
Robin. (1990). The action research
planner (3rd edition). Victoria: Deakin University
Press.
Kneedler,
Peter., Costa, Arthur L. (ed). (1988). California Assesses Critical Thinking. Developing Minds. Virginia: Association
for Supervision and Curriculum Departemen.
Kuswana, Wowo Sunaryo.
(2012). Taksonomi kognitif perkembangan
ragam berpikir. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mardapi,
Djemari. (2011). Pengukuran,
penilaian dan evaluasi pendidikan. Yogyakarta: Nuha Medika.
Peraturan
Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi untuk
Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.
Sukardi.
(2006). Penelitian
kualitatif-naturalistik dalam pendidikan. Yogyakarta: Usaha Keluarga.
Undang-Undang
RI Nomor 20, Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Vygostsky, L.S. (1978). Mind in society the development of higher psychological processes. Diedit
oleh Michael Cole et al. USA: Harvard University Press.
Waring,
Scott M. & Robinson, Kirk S. (2010). Developing Critical and Historical
Thinking Skills in Middle Grades Social Studies. Middle School Journal 42
(1), 22-28.
Copyright by ProQuest Education Journals, ProQuest
Research Library. diunduh dari: http://search.proquest.com/docview/ 760811013?accountid =31324
Widana,
A. Suhandana, A. & Atmadja, B. (2013). Pengaruh model pembelajaran
berorientasi pemecahan masalah open-ended terhadap kemampuan berpikir kritis
dan hasil belajar biologi siswa kelas vii smp negeri 1 kintamani. E-Journal Program Pascasarjana Universitas
Pendidikan Ganesha Volume 4 Tahun 2013. Diunduh dari:
pasca.undiksha.ac.id/e-journal/index.php/jurnal_ap/article/ view/628
Created At : 2017-12-29 00:00:00 Oleh : Nurhesti, SE, MPd Berita Terkini Dibaca : 4200