Bukan Rencana Kerja Biasa


Created At : 2016-10-15 06:56:20 Oleh : Budiono Berita Terkini Dibaca : 502

Butuh dana Rp.2.489.693.121.373,00 untuk mewujudkan visi-misi Bupati-Wakil Bupati Magelang pada tahun 2017, sebagaimana rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) 2017. Kebutuhan dana ini terdiri dari Belanja Tidak Langsung Rp.1.537.688.330.028,00 dan Belanja Langsung Rp.952.004.791.345,00. Namun dalam perhitungan DPPKAD, penerimaan yang bisa dihimpun diperkirakan hanya Rp. 2.238.405.099.656,00. Sehingga perwujudan visi-misi terkendala dana Rp. 251.288.021.717,00.

Defisit sebesar ini perlu mendapat perhatian,  mengingat hingga tahun 2016 ini  dari 185 indikator kinerja hanya 36 indikator telah tercapai, 77 indikator melampaui target.  Yang belum tercapai 72 indikator (30,27 persen). Jika diakumulasi keberhasillnya 61,08 persen.

Diantara indikator kinerja yang belum tercapai adalah indikator pada program-program prioritas. Pada prioritas pendidikan indikator yang belum tercapai, antara lain rata-rata lama sekolah, angka patisiapasi kasar (APK) dan  angka patisiapasi kasar dan angka patisiapasi murni (APM).

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya yang sedang menempuh pendidikan di jenjang pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu.

APK ini berfungsi untuk menunjukkan tingkat partisipasi penduduk secara umum di suatu tingkat pendidikan sekaligus merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing jenjang pendidikan.

Dari angka normative 100, APK SD/MI/Paket A baru mencapai 99,87; dan APK SMP/MTs/Paket B: 85,92; serta APK SMA/SMK/MA/Paket C: 54,18. Dibaca, diantara anak yang sedang sekolah SMA/SMK/MA/Paket C dibandingkan dengan anak usia 16-18 tahun yang tidak  tercakup 55,82%. Artinya, 55,82% yang tidak sekolah.

Angka Partisipasi Murni (APM) juga merupakan indikator daya serap penduduk usia sekolah di setiap jenjang pendidikan. Angka  Partisipasi  Murni  merupakan  angka  yang menggambarkan  partisipasi  anak  usia  sekolah  dalam  mengikuti jenjang  pendidikan  yang  sesuai.

Dari angka normative 100, APM SD/MI/Paket A baru mencapai 86,74; dan APM SMP/MTs/Paket B: 64,86; serta APM SMA/SMK/MA/Paket C: 37,58. Dibaca, anak usia 16-18 tahun yang tidak sekolah di SMA/SMK/MA/Paket C mencapai 62,12 persen. Angka yang sangat besar, jika dikaitkan dengan penyiapan generasi yang bermutu baik.

Coro bodon, menurut Rosjid Jauhari SKM, untuk memahami kinerja pendidikan dapat dilihat dari berapa besar siswa tertampung di SD/MI, berapa di SMP/MTS, dan berapa di SMA/SMK/MA. Bisa ditambahkan factor jumlah/pertambahan penduduk menurut golongan usia sekolah.

 Pada tahun 2015 ada 19.630 siswa lulus SD/MI (SD: 14.774 dan MI: 4.85), sementara SMP/MTS hanya mampu menampung 17.656 siswa, sehingga ada 1.974 yang tidak tertampung. Sementara siswa SMP/MTs yang lulus  15,366 siswa, dan yang tertampung di SMA/SMK/MA 11.570. Oleh karena itu siswa lulus SMP/MTS yang tidak tertampung 3.796.

APK dan APM akan terus menurun jika pertambahan jumlah sekolah tidak secepat pertambahan jumlah penduduk. Solusi pokoknya, menambah sekolah baru dan kelas baru.

Adanya siswa yang sekolah di luar kabupaten turut meningkatkan indikator kinerja pendidikan, yang bisa dilihat dari APS (angka partisipasi sekolah). Bedanya, jika APK/APM dihitung berdasarkan siswa yang ada di lembaga pendidikan, APS disensus di Rumah Tangga. APS akan lebih tinggi dari APK/APM jika banyak siswa sekolah di luar kebupaten. Data pada Statistik Umum Kab. Magelang 2015 disajiakn bahwa APS SD/ MI (7 – 12 th) 95,10; dan SMP/ MTs (13 – 15 th) 83,35; serta SMA/SMK/MA (16-18 th) 41,82 Dengan demikian salah jika ada anggapan bahwa rendahnya APK dan APM disebabkan oleh siswa yang sekolah diluar kabupaten.

Orang tua yang mengirim putra-putrinya  sekolah diluar kabupaten justru membantu menyelesaikan persoalan pendidikan, dengan memberikan kursi kepada siswa yang mungkin kurang mampu secara ekonomi maupun intelektual. Hanya, cara ini membawa dampak pindahnya kemakmuran ke luar daerah, utamanya terkait dengan biaya pendidikan.

Sebaliknya, jika mampu menjaring siswa luar daerah, misalnya jika katersediaan bangku/kelas lebih besar dari kebutuhan, yaitu dibanding dengan jumlah penduduk per kelompok umur. Maka, sama artinya dengan menarik masuk kemakmuran dari luar daerah. Dengan demikian jika, misalnya pemda mambantu pengembangan perguruan tinggi, sama saja dengan memberi ‘bantuan langsung tidak tunai’ (BLTT). Karena mahasiswa yang kiuliah disini akan membelanjakan uangnya untuk berbagai kebutuhan, yang pada tahap selanjutnya bagi penduduk kabupaten menjadi pendapatan (income).

 Eko Supriyadi, yang memperoleh bea siswa S-2 dari pemerintah Australia mendukung narasi diatas. Sebagian besar dana yang dialokasi kepada mahasiswa asing oleh pemerintah Australia masuk ke saku warga Australia sendiri, berupa biaya pendidikan (tuition fee) dan belanja biaya hidup mahasiswa. Jadi bea siswa untuk mahasiswa asing ini, modus untuk mem-BLTT yang muaranya peningkatan pendapatan (income), membangun kemitraan antar bangsa dan meningkatkan akreditasi perguruan tinggi.

Sebelum ndodro berkepanjangan, mari kita lakukan T-J (Tanya jawab).

T: “Jika kekurangan dana Rp.251 milyar ini dipenuhi, apakah APK/APM akan terangkat naik?”.

J: “tidak!”.

T: Weh, ra jelas?.

J: ‘pancen’.

Sebelum ketemu kambing hitamnya, yang cen ra jelas ini: penanya, penjawab atau rencanannya, mari kembali ke kebutuhan dana yang tidak tercukupi.

Yang biasa, untuk menutup deficit dengan memotong belanja. Namun, jika motongnya tidak hati-hati dan ahli maka pelaksanan tugas dan fungsi SKPD turut terpangkas/terpotong. (Maaf, bukan dikebiri loh). Yang dipotong umumnya belanja pegawai, alat tulis kantor, perjalanan dinas, dan lain-lain belanja yang tergolong belanja operasional birokrasi. Hanya perlu diingat bahwa kegiatan yang sifatnya edukasi, pelatihan, pemantauan, monitoring dan evaluasi, dsb., umumnya komponen belanja jasa pegawai yang dominan, sehingga jika belanjanya terpotong maka terpangkas pula fungsi penguatan modal insani dan tak terpenuhinya  

Oleh karena itu, yang dibutuhkan ‘bukan perencanaan biasa’. Metode ini menyebut dirinya ‘inovatif’ dan garda depan (avan garde). Dengan metode ini penyediaan pelayanan publik tidak perlu keluar uang pemerintah. Ada 36 (tiga puluh enam) cara, menurut D. Osborne dan T. Gabler (Reinventing Government), yang bisa dipakai oleh pemerintah pusat dan daerah, untuk mewujudkan 4 visi abadi, yaitu: melindungi segenap bangsa, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa, serta mewujudkan perdamaian abadi, tanpa keluar duit dari APBD.

Telah tersedia payung hukum untuk tindakan inovatif ini yaitu: 1. PP 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerja Sama Daerah; 2. Perprs 38 Tahun 2015; 3. Peraturan Menteri PPN/Kepala Bappenas No. 4 Tahun 2015 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 4. Perka LKPP No 19 Tahun 2015 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengadaan Badan Usaha Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur; 6. Permendagri 52 / 2015 tentang Pembayaran Ketersediaan Layanan.

Jika mau duitnya saja, bisa dipakai Regulasi Keuangan Negara, yaitu UU Nomor 17 Tahun 2003: Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di pasar modal domestic (pasal 57). UU Nomor 23 Tahun 2014: Kepala daerah dengan persetujuan DPRD dapat menerbitkan obligasi Daerah untuk membiayai infrastruktur dan/atau investasi yang menghasilkan penerimaan Daerah setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri dan persetujuan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang keuangan (Pasal 300 ayat 2). UU Nomor 33 Tahun 2004 dan PP Nomor 30 Tahun 2011. PMK Nomor 111/PMK.07/2012: Tata Cara Penerbitan dan Pertanggungjawaban Obligasi Daerah.

Seperti biasa untuk ide se-inovatif ini Togog, tokoh antagonis di jagat wayang, akan memberondong dengan sanggahan. Katanya, jika pelayanan masyarakat dikerjasamakan dengan swasta ‘tarif’ pelayanan akan mahal, karena pikiran swasta ‘untung melulu’, lebih dari itu ada pengalaman pemda pernah ditipu atau dikadali.

Penipuan sesungguhnya menggambarkan relasi yang tidak seimbang. Salah satu fihak terlalu pintar, atau fihak lain terlalu tidak pandai, atau keduanya. Untungnya, dalam regulasi baru ini telah diatur tatacara dan substansi yang harus dipenuhi dalam menyusun perjanjian kerjasama. Dan hebatnya, dalam pasal 27 (PP 50 Tahun 2007) diatur jika terjadi sengketa dalam kerjasama yang dibuat sebelum UU ini diundangkan, maka penyelesaiannya harus patuh pada UU ini. Nah, siapa masih ingin menipu diri?

Soal, keuntungan fihak swasta, justru itu yang harus dijamin. Banyak proyek sector pelayanan public yang tingkat keuntunganya sulit dicapai. Maka serahkan saja pada swasta, dengan keuntungan dijamin pemerintah. Bedanya, jika pemerintah sendiri yang membangun, maka harus keluar dana 100%. Yang seperti pembuka tulisan dutinya tidak ada. Jika swasta yang membangun, hanya perlu menyediaakan jaminan keuntung, misalnya sesuai suku bunga pinjaman bank, 20% dari nilai proyek.

Trik yang sama bisa diterapkan untuk biaya pelayanan swasta yang lebih tinggi. Walaupun, faktanya pelayanan oleh pemerintah bisa semahal tariff swasta, misalnya iuran sekolah negeri dan swasta. Pelayanan oleh swasta yang lebih mahal, biasanya karena pelayanan lebih baik, kemahalannya dibeli oleh pemerintah, maka kepada penerima layanan hanya perlu membayar sesuai tariff pemerintah. Misalnya, untuk suatu layanan swasta menetapkan harga Rp.120, semetara tariff yang sesuai Rp.100. Maka, selisih Rp.20 ditutup oleh pemerintah, masyarakat tetap membayar yang seratus. Bedanya, jika pemerintah yang menyelenggarakan layanan harus keluar dana Rp.100 /layanan. Dengan cara baru ini duit pemerintah yang diperlukan hanya Rp.20. Mau?

Ketika payung hukum telah lengkap dan di beberapa juga telah dilaksanakan maka tunggu apa lagi. Tunjuk personil yang mumpuni, yang cakap dan jujur, yang mempunyai komitmen. Atau, tenaga muda yang handal diikutkan diklat di Kementerian Keuangan, Kemendagri atau Bappenas. Semua diklat ini gratis. Kalau yang pinter nanti minta reward / upah?, segah mBilung.

Jika mengerahkan tenaga umat manusia, dengan segenap kecakapan dan keahlian, sehingga manfaatnya bisa untuk memajukan kesejahteraan umum, kemudian kepada yang bersangkutan tidak diberi upah/reward yang sepantasnya, itu namanya kebablasen. Bukan kebangeten?.

Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake, demikian diajarkan oleh para leluhur, agar umat manusia bisa amanah, tidak dupeh dan sewenang-wenang. Kebablasen-nya, adalah barang siapa memanfaatkan tenaga, fikiran dan keahlian, sementara tidak memberikan reward yang murwat, bisa diumpamakan: jajan tanpo mbayar. *perencana madya di Bappeda Kab. Magelang. 
GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara