Kajian Ketercapaian Standar Pendidik Dan Tenaga Kependidikan, Sarana Dan Prasarana Dan Kompetensi Lulusan Jenjang Sekolah Dasar Di Kabupaten Magelang


Created At : 2017-12-29 00:00:00 Oleh : ASWANDI, S.Si, MT Berita Terkini Dibaca : 881

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan manusia dapat diukur berdasarkan Physical Quality of Life Indek (PQLI) atau yang lebih di kenal dengan Indek Pembangunan Manusia (IPM). IPM disusun oleh tiga indikator yaitu: kesehatan,  pendidikan dan standar hidup layak.

IPM Kabupaten Magelang pada tahun 2014 mencapai 66,35. Menurut klasifikasi yang ditetapkan Badan Pusat statistik (BPS) capaian IPM dengan nilai 60 ≤ IPM < 70 termasuk kategori “sedang”, Capaian nilai IPM 70 ≤ IPM < 80 termasuk kategori pembangunan manusianya “tinggi” dan capaian IPM < 60 termasuk kategori “rendah”. Dengan angka IPM 66,35 berarti pembangunan manusian di Kabupaten Magelang termasuk kategori sedang. Namun apabila nilai indeksnya diperbandingkan dengan Kabupaten/Kota tetangga di wilayah eks Karesidenan Kedu, IPM Kabupaten Magelang menduduki posisi ke-5 dari 6 Kabupaten Kota. Sedangkan pada tingkat Provinsi Jawa tengah, Kabupaten Magelang berada pada posisi ke-25 dari 35 Kabupaten/Kota. Fakta di atas menjadi warning bagi Kabupaten Magelang untuk meningkatkan nilai IPM.

Sebagai salah satu indikator pembentuk IPM, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam keberhasilan pembangunan manusia. Semakin tinggi nilai indikator pendidikan, maka semakin tinggi pula sumber daya manusianya. Sumber daya manusia yang berkualitas merupakan modal yang sangat berarti bagi pembangunan, baik pembangunan manusianya sendiri maupun pembangunan secara keseluruhan. Sumber Daya manusia yang berkualitas dapat diwujudkan dengan pendidikan yang bermutu

Pemerintah selalu berupaya untuk meningkatkan pendidikan yang bermutu, pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan.  Upaya yang telah dilakukan antara lain adalah, peningkatan kualifikasi pendidik dan tenaga kependidikan, bantuan biaya operasional sekolah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, dan menetapkan berbagai kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan dan mengukur mutu penyelenggaraan pendidikan.

Kebijakan yang dapat digunakan sebagai acuan dalam mengelola pendidikan adalah Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Pasal 4 dalam PP tersebut menyata­kan bahwa standar nasional pendidikan merupakan sarana untuk menjamin mutu pelayanan pendidikan. Standar Nasional Pendidikan meliputi standar: isi, proses, kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, penilaian dan pembiayaan. Bila setiap satuan pendidikan telah dapat mencapai atau melebihi standar nasional pendidikan tersebut, maka mutu satuan pendidikan tersebut dapat dinyatakan tinggi.

Selanjutnya untuk mengukur kinerja institusi pendidikan, maka pemerintah telah membentuk Badan Akreditasi Nasional Sekolah-Madrasah (BAN SM). BAN SM merupakan lembaga independen yang berfungsi untuk menilai kinerja sekolah. Nilai kinerja sekolah diwujudkan dalam nilai akreditasi sekolah. Nilai akreditasi sekolah yang diberikan tergantung pada kinerja sekolah, yaitu seberapa jauh kinerja sekolah telah memenuhi butir-butir instrumen akreditasi. Sekolah yang kinerjanya sangat tinggi diberi peringkat Akreditasi A, Kinerja Tinggi diberi peringkat B, dan Kinerja Cukup diberi peringkat C, dan Kinerja Rendah dinyatakan tidak terakreditasi.

Berdasarkan hasil penelitian Jaringan Penelitian Kebijakan Pendidikan Kabupaten Magelang bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kabudayaan tahun 2015 tentang kajian Standar Nasional Pendidikan di Kabupaten Magelang, diperoleh data hasil akreditasi Sekolah Dasar (SD), sebanyak 150 SD (24,9%) mendapat peringkat A (sangat tinggi), 441 SD (73,1%) mendapat peringkat B (tinggi), 4 SD (0,7%) mendapat peringkat C (Cukup) dan 8 SD (1,3) tidak diakreditasi (rendah). Apabila mengacu target Badan Akreditasi Nasional (BAN-SM) bahwa pada tahun 2015 minimal 40% sekolah disemua jenjang peringkat akreditasinya A, berarti capaian hasil akreditasi SD di Kabupaten Magelang masih jauh dari target.

Hasil akreditasi SD di Kabupaten Magelang dilihat dari rata-rata nilai komponen 8 (delapan) SNP adalah (diurutkan dari yang paling rendah) Standar Kompetensi Lulusan (K3) sebesar 77, berada pada kategori baik, Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan (K4) sebesar 78, masuk kategori baik. Standar Sarana Prasarana (K5) diperoleh nilai 81, pada kategori baik, Standar Isi (K1) sebesar 82 dan Standar Proses (K2) diperoleh nilai 82, berada pada kategori baik. Dari komponen Standar Penilaian (K8) diperoleh nilai sebesar 83, berada pada kategori baik. Komponen Standar Pengelolaan (K6) diperoleh nilai 84, pada kategori baik. dan nilai Standar Pembiayaan (K7) sebesar 88, berada pada kategori baik. Berarti bahwa rata-rata nilai komponen 8 (delapan) SNP jenjang SD di Kabupaten Magelang adalah baik.

Mengacu pada hasil penelitian, masih banyak Sekolah Dasar di Kabupaten Magelang yang perlu ditingkatkan mutunya, karena masih ada SD yang peringkat akreditasinya C dan belum terakreditasi serta SD yang hasil akreditasinya berperingkat A baru mencapai 24,5%. Berkenaan dengan hal tersebut, maka akan dilakukan kajian yang lebih mendalam tentang ketercapaian  SNP  khususnya ketercapaian pada standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana serta standar kompetensi lulusan jenjang sekolah dasar.

 

 

Kerangka Teori

A.      Standar Nasional Pendidikan

Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan mendefinisikan Standar Nasional Pendidikan sebagai kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Standar Nasional Pendidikan berfungsi sebagai dasar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pendidikan dalam rangka mewujudkan pendidikan nasional yang bermutu.  Standar Nasional Pendidikan bertujuan menjamin mutu pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat. Standar Nasional Pendidikan disempurnakan secara terencana, terarah, dan berkelanjutan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

Dalam Peraturan Pemerintah  32 tahun 2013 disebutkan bahwa Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi: (a)  Standar isi; (b) Standar proses; (c) Standar kompetensi lulusan; (d) Standar pendidik dan tenaga kependidikan; (e) Standar sarana dan prasarana; (f) Standar pengelolaan; (g) Standar pembiayaan; dan (h) Standar penilaian pendidikan.

B.       Mutu Pendidikan

Kata mutu sering disamaartikan dengan kata kualitas. Goetsch and Davis (2006) mendefinisikan kualitas sebagai berikut :”Quality is dynamic state associate with product, service, people, process, and environments that metts or excedds expectations”. Kualitas merupakan pernyataan yang dinamis yang terkait dengan produk, pelayanan, orang, proses dan lingkungan yang dapat memenuhi atau melebihi yang diharapkan. Keadaan dinamik disini merujuk pada fakta bahwa apa yang dianggap bermutu dapat berubah dari waktu ke waktu sejalan dengan perubahan jaman. Dari definisi di atas bisa disimpulkan bahwa unsur dari mutu atau kualitas tidak hanya barang dan jasa namun juga orang dan proses yang terlibat dalam penyediaan barang dan jasa tersebut serta lingkungan dimana barang dan jasa itu disediakan.

Menurut Philip B. Crosby,  mutu didefinisikan sebagai kesesuaian dengan apa yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement).Secara sederhana sebuah produk atau jasa dikatakan berkualitas apabila produk tersebut sesuai dengan standar kualitas yang telah ditentukan yang meliputi bahan baku (input), proses produksi (proses), dan produk jadi (output). Dari definisi ini, mutu itu diartikan sebagai kesesuaian dengan standar yang ada.

Paradigma mutu dalam konteks pendidikan menurut Depdiknas (2001) mencakup input, proses, dan output. Lebih jauh dijelaskan bahwa input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena dibutuhkan untuk berlangsungnya proses, yang dimaksud sesuatu adalah berupa sumber daya dan perangkat lunak serta harapan-harapan sebagai pemandu bagi keberlangsungan proses.

Kesiapan input sangat diperlukan agar proses dapat berlangsung dengan baik. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya mutu input dapat diukur dari tingkat kesiapan input, makin tinggi kesiapan input, makin tinggi pula mutu input tersebut.

Proses pendidikan merupakan proses berubahnya sesuatu mrnjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang berpengaruh terhadap berlangsungnya proses disebut input, sedangkan sesuatu dari hasil proses disebut output. Proses dikatakan bermutu tinggi apabila pengkoordinasian dan penyerasian serta pemanduan input dilakukan secara harmonis, sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu memberdayakan peserta didik.

Menurut Cohn (1999) output pendidikan dapat membentuk: 1). Basic skills (kemampuan dasar). Keberhasilan siswa dalam mencapai kemampuan berhitung dan membaca ; 2). Vocational skills (kemampuan kejuruan). Dapat digunakan untuk bekal hidup di masyarakat (life Skills); 3). Creativity (kreativitas), merupakan ukuran untuk menilai keberhasilan sekolah, dengan bertambahnya kreativitas anak (manfaat investatif); dan 4). Attitude (sikap). Salah satu fungsi sekolah adalah membentuk sikap yang “baik”. Sikap ini meliputi untuk sendiri, teman, keluarga, komunitas tertentu, masyarakat sekolah dan dunia dimana kita hidup.

Bertitik tolak dari beberapa pengertian tersebut, maka dalam konteks pendidikan, suatu pendidikan dianggap bermutu apabila mampu memenuhi kebutuhan orang-orang yang terlibat dalam pendidikan, terutama peserta didik, sehingga terpuaskan. Bila dikaitkan dengan mutu pendidikan, maka mutu pendidikan adalah suatu kondisi dinamis yang meliputi orang, proses, produk, pelayanan, dan aspek organisasi lain yang memenuhi standar yang ditetapkan serta dapat memenuhi harapan konsumen. Dalam hal ini standart yang dimaksud adalah Standar Nasional Pendidikan dan konsumen yang dimaksud adalah siswa dan orang tua siswa.

C.       Akreditasi  Sekolah

Akreditasi sekolah adalah proses penilaian secara komprehensif terhadap kelayakan dan kinerja satuan dan/atau program pendidikan, yang dilakukan sebagai bentuk akuntabilitas publik. Di dalam proses akreditasi, sebuah sekolah dievaluasi dalam kaitannya dengan arah dan tujuannya, serta didasarkan kepada keseluruhan kondisi sekolah sebagai sebuah institusi belajar. Akreditasi merupakan alat regulasi (self-regulated) agar sekolah mengenal kekuatan dan kelemahan serta melakukan upaya yang terus menerus untuk meningkatkan kekuatan dan memperbaiki kelemahannya (Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama, Ditjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas, 2007: 3)

Berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 087/U/2002 tanggal 14 Juni 2002 tentang Akreditasi Sekolah, sekolah yang akan diakreditasi harus memiliki persyaratan sebagai berikut:

1)      Memiliki surat keputusan kelembagaan unit pelaksana teknis (UPT) sekolah

2)      Memiliki siswa pada semua tingkatan kelas

3)      Memiliki sarana dan prasarana pendidikan

4)      Memiliki tenaga kependidikan

5)      Melaksanakan kurikulum nasional

6)      Telah menamatkan peserta didik

Sedangkan komponen-komponen sekolah yang menjadi bahan penilaian adalah:

1)      Kurikulum dan Proses Pembelajaran

2)      Administrasi dan Manajemen Sekolah

3)      Organisasi dan Kelembagaan Sekolah

4)      Sarana dan Prasarana

5)      Ketenagaan

6)      Pembiayaan

7)      Peserta didik

8)      Peran serta masyarakat

9)      Lingkungan dan Budaya Sekolah

 

D.       Evaluasi Diri Sekolah (EDS)

Evaluasi  diri  sekolah  adalah  proses  yang  mengikutsertakan  semua  pemangku  kepentingan yang  memungkinkan  sekolah  menilai  mutu penyelenggaraan pendidikan dibandingkan dengan indikator-indikator kunci yang mengacu pada 8 Standar Pendidikan Nasional (SNP), sehingga dengan demikian kekuatan dan kemajuan yang dicapai dapat diketahui, sementara aspek-aspek yang memerlukan peningkatan dapat diidentifikasi.        yang  memungkinkan  sekolah  menilai  mutu penyelenggaraan pendidikan dibandingkan dengan indikator-indikator kunci yang mengacu pada 8 Standar Pendidikan Nasional (SNP), sehinggadengan

Proses evaluasi diri sekolah merupakan siklus, yang dimulai dengan dibentuknya Tim Pengembang Sekolah (TPS) untuk melakukan evaluasi setelah mereka memperoleh pelatihan penggunaan Instrumen EDS ini. Tim mengumpulkan informasi dari berbagai sumber untuk menilai kinerja sekolah didasarkan atas indikator-indikator yang dirumuskan dalam Instrumen EDS.  Istrumen EDS pada penelittian ini sama dengan instrumen akreditasi sekolah. Hal ini didasarkan pada kesepakatan antara Badan Akeditasi Provinsi. Kegiatan ini melibatkan semua staf sekolah serta mengupayakan memperoleh pendapat dari seluruh pemangku kepentingan di sekolah. Selama proses kegiatan dilakukan, diharapkan ada satu visi yang jelamenyangkut wujud kinerja sekolah yang diinginkan. Informasi yang dikumpulkan  digunakan sebagai bahan untuk menetapkan aspek mana yang menjadi prioritas dalam perencanaan peningkatan dan pengembangan sekolah.

Tujuan EDS itu sendiri  adalah untuk mengetahui kelebihan atau kekurangan sekolah, merupakan salah satu langkah dan tahapan dalam peningkatan mutu sekolah. Dengan melakukan EDS maka dapat dipahami bersama oleh segenap warga sekolah akan segala kelebihan dan kelemahan sekolahnya, sehingga langkah-langkah perbaikan dan titik fokus pengembangan sekolah dapat dilakukan dengan tepat. Karena itu EDS dapat menghemat waktu pencapaian tingkat mutu sekolah yang dikehendaki. Kegiatan EDS dapat dikaitkan atau diikuti oleh evaluasi eksternal, namun hal ini tidaklah menjadi keharusan, artinya evaluasi diri sekolah lebih baik diinternalisasikan sebagai bagian dari budaya peningkatan mutu sekolah secara menyeluruh dan berkelanjutan.

E.       STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM)

Standar Pelayanan Minimal (SPM) bidang pendidikan adalah jenis dan tingkat pelayanan pendidikan minimal yang harus disediakan oleh satuan atau program pendidikan, penyelenggara satuan atau program pendidikan, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.

Standar pelayanan minimal pendidikan dasar adalah tolok ukur kinerja pelayanan pendidikan dasar melalui jalur pendidikan formal yang diselenggarakan pemerintah kabupaten/ kota. SPM mengatur jenis dan mutu layanan pendidikan yang disediakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan sekolah/madrasah. SPM juga merupakan pelaksanaan disentralisasi penyelenggaraan kewenangan di bidang pendidikan dasar.

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 15 tahun 2010 tentang Standar Pelayanan Minimal Pendidikan Dasar di Kebupaten/kota pada pasal 2 menyebutkan bahwa : (1) Penyelenggaraan  pelayanan  pendidikan  dasar  sesuai  SPM  pendidikan merupakan kewenangan kabupaten/kota. (2) Penyelenggaraan pelayanan pendidikan meliputi pelayanan pendidikan dasar oleh kabupaten/kota dan pelayanan pendidikan dasar oleh satuan pendidikan.

F.        Hubungan SNP, SPM dan EDS

Pemenuhan standar nasional pendidikan masih dirasakan sulit bagi banyak sekolah/madrasah, maka Standar Pelayanan Minimal (SPM) dirancang sebagai tahapan awal untuk mencapai SNP. Penjaminan mutu pendidikan oleh satuan pendidikan ditujukan untuk (1) memenuhi SPM, (2) secara bertahap memenuhi SNP, dan (3) secara bertahap memenuhi standar mutu di atas SNP.

Jika mutu sekolah/madrasah dipetakan melalui akreditasi, akan didapatkan peringkat akreditasi berupa A, B, C, atau TT (tidak terakreditasi), SPM lebih difokuskan pada sekolah/ madrasah yang belum terakreditasi, agar mereka setidaknya bisa mencapai peringkat akreditasi C, sedangkan EDS dimaksudkan sebagai upaya untuk meningkatkan mutu sekolah setiap tahunnya sehingga dapat mencapai mutu yang lebih tinggi, misalnya dari TT ke C, dari C ke B, dan dari B ke A. Atau ada peningkatan nilai standar, dari 70 menjadi 75, 80 menjadi 90 dan sebagainya.

 

 

METODOLOGI

 

A.       Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kebijakan. Kekhasan penelitian kebijakan adalah keharusan merumuskan rekomendasi bagi pemecahan masalah fundamental terhadap pengambil keputusan yaitu pemecahan yang memiliki peluang besar untuk diimplementasi bagi kepentingan publik (Putra Nusa & Hendarman, 2012: 56). Menurut Nugroho (2011:228-229) penelitian kebijakan merupakan bidang penelitian sosial yang relatif baru. Pada awalnya ia hanya dipahami sebagai sebuah penelitian sebagaimana mafhumnya penelitian sosial khususnya dalam konteks penelitian survei kuantitatif. Pada perkembangannya penelitian kebijakan dipahami sebagai penelitian untuk merumuskan kebijakan dan kemudian dipahami sebagai penelitian tentang kebijakan.

B.       Metode Penelitian

Penelitian/kajian ini menggunakan metode campur sari (mixed method), yaitu dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif sekaligus. Metode kuantitatif menggunakan survei dengan pengambilan sampel berdasarkan pada nilai hasil akreditasi dan wilayah Kecamatan. Metode kualitatif menggunakan Focussed Group Disscussion (FGD). Instrumen utama yang digunakan adalah kuesioner untuk mengumpulkan data tingkat ketersediaan sumber daya pendidikan berdasarkan 3 standar nasional pendidikan yang diteliti, data ketercapaian SPM pendidikan SD dan gambaran hasil EDS.

C.       Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Sekolah Dasar (SD) di Kabupaten Magelang sejumlah 605. Namun karena keterbatasan biaya, tenaga dan waktu, maka penelitian dilakukan pada sampel. Jumlah sampel ditentukan dengan menggunakan formula dari Gay dan Diehl. Teknik sampling yang digunakan adalah stratified random sampling berdasarkan nilai hasil akreditasi dan wilayah Kecamatan di Kabupaten Magelang. Dengan demikian penentuan sampel tidak memperhatikan sekolah negeri atau swasta. Tahapan penentuan sampel adalah sebagai berikut :

a.         Menentukan jumlah sampel

Gay dan Diehl menuliskan, untuk penelitian deskriptif, sampelnya 10% dari populasi, penelitian korelasional, paling sedikit 30 elemen populasi, penelitian perbandingan kausal, 30 elemen per kelompok, dan untuk penelitian eksperimen 15 elemen per kelompok. (Reseach Methods for Business, LR. Gay dan P.L. Diehl, 1992). Pada Penelitian ini, sampel yang digunakan adalah minimal 10% dari populasi (605), sehingga sampelnya sejumlah minimal 61 Sekolah Dasar. Dikarenakan jumlah Kecamatan di Kabupaten Magelang ada 21, agar masing-masing kecamatan terwakili oleh sampel yang sama jumlahnya, diambil sampel sebanyak 63 SD.

b.        Menentukan SD yang menjadi sampel Penelitian

Tahapan dalam penentuan sampel adalah sebagai berikut:

ü  Pada 21 Kecamatan di Kabupaten Magelang dikelompokkan berdasarkan strata hasil akreditasi, yaitu sekolah dengan peringkat Akreditasi A dan B, dengan nilai 71-80, 81 – 90 dan 91 - 100

ü  Masing-masing Kecamatan diambil 3 sekolah secara random, pada masing-masing kelompok nilai.  Dengan demikian jumlah sampel keseluruhan = 3 x 21 = 63 sekolah.

D.       Teknik Pengumpulan Data

Untuk menjawab rumusan masalah penelitian, digunakan teknik pengumpulan data dengan kuesioner, data primer dan FGD, yaitu  sebagai berikut:

1.        Kuesioner pengukuran ketercapaian standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana dan prasarana;

2.        Kuesioner pengukuran ketercapaian SPM Sekolah Dasar;

3.        Kuesioner Evaluasi Diri Sekolah (EDS) Sekolah Dasar, yang dalam penelitian ini menggunakan instrumen akreditasi, yang menjadi sampel penelitian;

4.        Dokumen hasil akreditasi sekolah dasar tahun 2011 s/d 2015;

5.        Focussed Group Discussion (FGD) untuk memberi gambaran makna tentang capaian  standar standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana dan prasarana dan memperoleh informasi tentang upaya-upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan sebagai pendukung data yang diperoleh.

E.       Instrumen Penelitian

Instrumen yang di gunakan dalam pengumpulan data untuk mengukur ketercapaian standar kompetensi lulusan, pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana dan prasarana pada sekolah sampel adalah : a) dokumen-dokumen yang terkait dengan evaluas diri sekolah, b) lembar angket dan FGD dengan para kepala sekolah.

F.        Analisis Data

1.        Statistik diskriprif

Ø Deskriptif kuantitatif dengan perhitungan rata-rata, dan persentase sehingga dapat menggambarkan tingkat ketercapaian standar kompetensi lulusan,  standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana dan prasarana.

Ø Deskriptif kualitatif untuk mengetahui tentang upaya-upaya dalam meningkatkan kualitas pendidikan sebagai pendukung data yang diperoleh.

2.        Korelasional

Korelasi product moment untuk mengetahui hubungan antara standar pendidik dan tenaga kependidikan dan standar sarana prasarana dengan kompetensi lulusan.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.       Akreditasi Sekolah Dasar (SD)

Jumlah SD di Kabupaten Magelang sampai dengan tahun 2015 adalah 605. Tahun 2011-2015 telah dilakukan akreditasi pada 605 SD di Kabupaten Magelang dan tercatat hasilnya adalah sebagai berikut: sebanyak 185 SD (31%)  mendapat nilai A, 410 SD (68%) mendapat nilai B, 1 SD (0%) mendapat nilai C dan 9 SD (1%) belum diakreditasi. Jika dibandingkan hasil akreditasi tahun 2014 telah terjadi peningkatan pada hasil akreditasi tahun 2015. Hal ini ditunjukkan dengan jumlah sekolah yang mendapat peringkat akreditasi A naik sebanyak 37 SD atau 6 %  (lihat tabel 4.3). Berarti bahwa secara umum ada peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten Magelang dilihat dari sisi peringkat hasil akreditasi.

Tabel 1.  Distribusi Hasil Akreditasi SD di Kabupaten Magelang

tahun 2011-2014 dan 2011-2015

Predikat

Tahun

2011-2014

 

 

2011-2015

 

 

A

B

C

Belum diakreditasi

Jumlah

A

B

C

Belum diakre-ditasi

Jumlah

Jumlah Sekolah

150

441

4

8

603

187

408

1

9

605

Persentase

24,9

73,1

0,7

1,3

100

30,9

67,4

0,2

1,5

100

 

Tabel 4.10 di atas menunjukkan bahwa mayoritas peringkat hasil akreditasi SD tahun 2011-2015 adalah B yaitu sebanyak 408 sekolah (67,4 %). Berarti bahwa mayoritas SD di Kabupaten Magelang masuk kriteria Baik.

Hasil Akreditasi terbentuk dari nilai 8 (delapan) komponen Standar Nasional Pendidikan, yaitu standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,  standar sarana dan prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian. Pada penelitian ini, standar yang dikaji adalah standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan tenaga kependidikan,  standar sarana dan prasarana.

Dari  data  sekolah  yang  diakreditasi  pada  tahun  2011-2014 dan 2011-2015,  dapat  kita  gambarkan pencapaian standar kompetensi lulusan,  standar pendidik dan tenaga kependidikan,  standar sarana dan prasarana dalam memenuhi Standar Nasional Pendidikan. Pencapaian SNP jenjang SD di Kabupaten Magelang adalah sebagai berikut :

Tabel 2. Nilai Akreditasi standar kompetensi lulusan,  standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan prasarana di SD

 

Standar Pendidikan

Tahun Akreditasi

 2011 – 2014

2011-2015

Minimum

Maksimum

Rata-rata

Minimum

Maksimum

Rata-rata

Standar Kompetensi Lulusan

52

99

77

56

99

78

Standar Pendidik dan Tenaga Kependidikan

50

99

78

50

100

79

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara
Alamat : Jln. Soekarno Hatta No. 59 Kota Mungkid
Telpon : (0293)-788181
Fax : (0293)-788122
Email : bappeda@magelangkab.go.id
Website : http://bappeda.magelangkab.go.id
SOSIAL MEDIA