Analisis Angka Partisipasi Kasar Pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Sederajat Dalam Rangka Persiapan Implementasi Pendidikan Menengah Universal (PMU) Di Kabupaten Magelang


Created At : 2017-12-29 00:00:00 Oleh : Aswandi SSi, MT dkk Berita Terkini Dibaca : 2988

PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Kabupaten Magelang sebagai salah satu Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Tengah, menyikapi desentralisasi pendidikan dengan menyelaraskan kebijakan daerah dengan kebijakan pusat. Langkah konkrit yang dilaksanakan adalah menempatkan urusan Pendidikan sebagai salah satu program prioritas pembangunan daerah yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Magelang Tahun 2014-2019.

Fakta di Kabupaten Magelang, APK SMP th 2012/2013 adalah 94,56, berada pada urutan ke 33 dari 35 Kabupaten/Kota se Jawa Tengah (Dokumen RPJMD Provinsi Jawa Tengah). Dibandingkan APK Jawa Tengan (100,50) dan APK nasional (97),  APK SMP di Kabupaten Magelang  masih berada pada angka yang lebih rendah.

APK jenjang SMA sederajat di Kabupaten Magelang th 2012/2013 sebesar 65,10, berada pada urutan 20 dari 35 Kabupaten Kota di Jawa Tengah. APK Jawa Tengah th 2012/2013 sebesar 73,05% dan APK Nasional sebesar 78,19% Berarti bahwa APK Jenjang SMA sederajat di Kabupaten Magelang berada di bawah APK Provinsi Jawa Tengah dan APK Nasional.

Nilai APK memberikan sumbangsih yang besar dalam membentuk nilai rata-rata lama sekolah. Seperti disebutkan diatas, tahun 2013 APK tingkat SMP di Kabupaten Magelang sebesar 94,56. Berpedoman pada ketetapan kategori tahapan pencapaian  ketuntasan wajib belajar 9 tahun seperti tersebut di atas, ketuntasan wajar 9 tahun di Kabupaten Magelang masuk pada kategori tuntas utama, yang berarti bahwa wajar 9 tahun di Kabupaten Magelang belum paripurna atau belum tuntas. Tahun 2013 rata-rata lama sekolah sebesar di kabupaten Magelang sebesar 7,55. Berarti bahwa rata-rata pendidikan penduduk Kabupaten Magelang hanya sampai pada pertengahan kelas I SMP.

Untuk meningkatkan APK di Kabupaten Magelang, perlu upaya bersama berbagai pihak dalam menangani permasalahan tersebut. Upaya ini akan berjalan dengan efektif dan efisien apabila diketahui dengan jelas wilayah mana di Kabupaten Magelang yang memiliki APK rendah dan bagaimana karakteristik sosial ekonomi, karakter fisiografis, persebaran penduduk usia 16-18 yang tidak mengenyam pendidikan SMA sederajat, dan teridentifikasinya faktor-faktor yang berkaitan dengan APK.

Capaian APK SMA sederajat di Kabupaten Magelang tahun 2013 adalah 65,10. Target PMU pada tahun 2020, APK tingkat SMA sederajat Nasioanal sebesar 97. Untuk mencapai target PMU, kabupaten Magelang perlu meningkatan capaian APK SMA sederajat sebesar 31,90 selama 4 tahun. Berarti bahwa rata-rata peningkatan APK pertahun yang harus dicapai Kabupaten Magelang sebesar 7,98.

Melihat fenomena saat ini dimana capaian APK Kabupaten Magelang masih berada di bawah rata-rata APK Jawa Tengah dan Nasional, dan memperhatikan kesenjangan fakta APK SMA sederajat di Kabupaten Magelang dengan target capaian APK SMA sederajat program PMU Kemendiknas pada tahun 2020, maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan APK. Kebijakan tersebut tidak hanya kebijakan di bidang pendidikan namun harus bersifat komprehensip semua bidang, baik bidang sosial, ekonomi, budaya serta keruangan. Agar kebijakan-kebijakan yang dipilih tepat sasaran maka dilakukan penelitian yang mengambil tema tentang APK dengan judul Analisis Angka Partisipasi Kasar pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Sederajat dalam rangka Persiapan Implementasi Pendidikan Menengah Universal di Kabupaten Magelang”.

B.       Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengkaji Angka Partisipasi Kasar pada jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sederajat di Kabupaten Magelang, dalam rangka menyiapkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan  menghasilkan alternatif kebijakan yang mampu maningkatkan nilai APK.

C.       Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian Analisis Angka Partisipasi Kasar pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sederajat guna Persiapan Implementasi Program PMU di Kabupaten Magelang ini difokuskan untuk mengetahui pola sebaran APK dan keterkaitan APK dengan karakteristik wilayah.

D.       Hasil yang Diharapkan

Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan pola sebaran capaian APK di Kabupaten Magelang dan mengidentifikasikan  keterkaitan APK dengan karakteristik wilayah yang meliputi kondisi geografis, kondisi sarana pendidikan, ekonomi, sosial, Aksesibilitas, budaya serta mengetahui kesiapan implementasi PMU di Kabupaten Magelang.

 

TINJAUAN PUSTAKA

1.        Angka Partisipasi  Kasar 

Angka Partisipasi Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang  sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tertentu. APK didapat dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah (atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan tersebut.

Makin tinggi APK berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di tingkat pendidikan tertentu. Nilai APK bisa lebih besar dari 100% karena adanya siswa di luar usia sekolah, daerah kota, atau daerah perbatasan. Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia sekolah yang bersekolah disuatu jenjang pendidikan.

Nilai APK bisa lebih dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan yang bersangkutan (misalnya anak bersekolah di SD berumur kurang dari  7 tahun atau lebih dari 12 tahun). Selain itu, bisa juga disebabkan oleh  adanya siswa di luar wilayah yang bersekolah di wilayah tersebut ataupun siswa penduduk wilayah tersebut yabf sekolah di wilayah lain.

APK merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk usia sekolah di masing-masing  jenjang pendidikan dan APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pendidikan yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk mengenyam pendidikan. Meningkatnya partisipasi sekolah berarti menunjukkan adanya keberhasilan di bidang pendidikan, utamanya yang berkaitan dengan upaya memperluas jangkauan pendidikan. Angka partisipasi murni (APM) tidak digunakan dalam penelitian ini karena terkadang akan terdapat kasus dimana terdapat siswa yang berusia lebih tua dari pada usia jenjang pendidikan tertentu yang di jalaninya, kasus ini bisa terjadi karena orang tersebut tinggal kelas, terlambat masuk, sakit dan lainnya, maka begitu juga sebaliknya akan di temui kasus dimana seseorang tersebut berusia lebih muda dibandingkan usia jenjang pendidikan yang dijalaninya, hal ini bisa di sebabkan oleh terlalu cepat masuk sekolah atau mendapat kelas akselerasi. Oleh karena itu Angka Partisipasi Kasar penulis menilai lebih tepat di gunakan untuk menunjukkan berapa besar tingkat partisipasi masyarakan secara umum disuatu tingkat pendidikan.   Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi (SMA/SLTA) angka partisipasi sekolah penduduk masih rendah. Hal ini berkaitan dengan kegiatan ekonomi penduduk pada usia tersebut yang sebagian besar membantu orang tua untuk bekerja atau pada usia tersebut sudah menikah.  Rendahnya partisipasi menurut Sidi (Kompas, 17 April 2001 dan Septiana, 2008) penyebab anak tidak melanjutkan sekolah adalah adanya faktor budaya dan kurangnya kesadaran orangtua terhadap pendidikan anak, keadaan geografis yang kurang menguntungkan dan kondisi ekonomi orang tua yang miskin. Mengetahui keadaan angka partisipasi pada pendidikan sangat penting bagi semua pihak, dengan mengetahui angka partisipasi maka kita akan dapat mengetahui sejauh mana upaya pemerataan dan perluasan akses pendidikan telah dicapai. Dan dengan angka partisipasi, kita dapat mengetahui karakter atau variable, ketidakmerataan atau kesenjangan dalam memperoleh akses pendidikan Sekolah Menengah Atas/Sederajat

2.        Pengembangan PMU

Saat ini, Kemendikbud menetapkan penyelenggaraan program PMU sebagai program “rintisan wajib” belar 12 tahun. Walaupun demikian, program Wajar Dikdas 9 tahun masih perlu dituntaskan agar seluruh anak usia pendidikan dasar di Indonesia dapat menyelesaikan pendidikannya sampai tamat SMP atau yang sederajat (http://www. Kemendikbud.go.id). Secara faktual, sebenarnya program wajar 9 tahun belum sepenuhnya tuntas. Program ini hanya mengurangi angka melek huruf dan angka partisipasi kasar (APK). Namun secara kualitas, pendidikan wajar 9 tahun belum berkualitas, sekalipun  Pemerintah telah menetapkan bahwa program wajar 9 tahun telah selesai secara kuantitatif dengan ditunjukkannya APK  SMP mencapai 97 persen. Dengan adanya program  PMU, diperkirakan pada tahun 2020 akan tercapai APK pendidikan menengah 97%, di mana anak berusia 16-18 tahun, minimal lulus SMA/MA/SMK/MA, atau yang sederajat (Ditjen. Pendidikan Menengah, 2012).

Di samping itu, dapat dikatakan bahwa program PMU merupakan program “preparatif dan antisipatif” untuk menyambut “bonus emas demografi” di masa mendatang. Bonus demografi atau demographic dividend dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio ketergantungan sebagai hasil proses proporsi umur penduduk muda dan meningkatkan proporsi penduduk usia kerja (Adioetomo, 2005).

Lebih lanjut, Adioetomo berpendapat bahwa perubahan struktur usia penduduk akibat transisi demografi jangka panjang bedampak pada: 1) peningkatan jumlah tenaga kerja yang apabila mendapatkan kesempatan kerja yang produktif akan meningkatkan total output; 2) penumpukan kekayaan yang lebih besar, apabila ada tabungan masyarakat yang diinvestasikan secara produktif; dan 3) tersedianya human capital yang jumlahnya lebih besar (dibandingkan waktu sebelumnya), sehingga manakala ada kebijakan investasi yang khusus diarahkan untuk meningkatkan kapasitas SDM, maka Indonesia memiliki peluang untuk menciptakan peluang tenaga kerja tingkat menengah yang tangguh dan berkualitas untuk mngelola sumber daya alamnya.

Mempertimbangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tenaga Kerja, bahwasannya lulusan SMP/MTs atau yang sederajat belum layak bekerja, maka apabila tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki dampak sosial yang lebih kompleks. Oleh karena itu, kebijakan penyelenggaraan program PMU harus berorientasi pada: 1) pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh Warga Negara Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu; 2) Pemerintah memfasilitasi untuk menampung penduduk usia sekolah menengah; 3) pembiayaan ditanggung bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat; serta 4) pemberian sanksi relatif longgar bagi anak usia sekolah menengah yang tidak mengikuti (Ditjen. Pendidikan Menengah, 2012).

Atas keberhasilan program Wajar Dikdas 9 tahun, Kemendikbud merasa perlu untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak bangsa dari 9 tahun menjadi 12 tahun. Secara logis, keberhasilan program Wajar Dikdas 9 tahun akan memiliki dampak terhadap: 1) kewajiban anak usia 16-18 tahun untuk mengikuti pendidikan lanjutan setelah lulus SMP/MTs atau yang sederajat; 2) biaya penyelenggaraan program PMU ditanggung Pemerintah; dan 3) anak usia 16-18 yang tidak mengikutinya dikenakan sanksi.

Pertimbangan Pemerintah tidak memberlakukan PMU sebagai  program wajib belajar sebagaimana mestinya dikarenakan kondisi masyarakat Indonesia masih banyak yang mengalami berbagai kendala, seperti kendala geografis, sarana, sosial ekonomi, kultur, dan budaya. Dengan demikian, dalam pelaksanaan program tersebut tidak diberlakukan hukuman atau sanksi bagi anak yang tidak mengikutinya. Untuk sementara ini, program PMU masih merupakan “himbauan” namun sifatnya “sangat disarankan” (sunnah muakadah) bagi lulusan SMP/MTs atau yang sederajat agar melanjutkan pendidikannya ke jenjang pendidikan menengah (SMA/MA/ SMK/MAK).

Menurut Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, beberapa hal yang melatar belakangi penyelenggaraan pendidikan menengah universal (PMU) yaitu untuk: 1) menjaga kesinambungan pendidikan sebagai konsekuensi logis atas keberhasilan wajar dikdas 9 tahun; 2)  memanfatkan periode bonus demografi; 3) mendukung tercapainya target Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI); 4) memperkuat daya saing bangsa; dan 5) menyongsong 100 tahun Indonesia merdeka. Atas dasar tersebut, maka Pemerintah merasa perlu mengambil langkah strategis untuk mempersiapkan program PMU,  yang mencakup SMA, MA dan SMK (Ditjen.Pendidikan Menengah, 2012).

Penelitian terhadap program PMU dilatar belakangi oleh beberapa hal, antara lain: Pemerintah (Kemendikbud) telah menetapkan kebijakan PMU untuk  menyiapkan SDM yang bermutu dan unggul sehingga dapat hidup mandiri dan mampu berdaya saing dalam era global, sekaligus  untuk mengantisipasi  Indonesia sebagai 7 negara industri maju, memanfaatkan bonus demografi, dan membuka kesempatan warga yang telah menuntaskan pendidikan 9 tahun serta untuk meningkatkan akses warga negara usia 16 sd 18 tahun untuk mengikuti pendidikan pada pendidikan menengah. Atas dasar tersebut, sasaran teknis yang ingin dicapai dalam  pelaksanaan program PMU yaitu meningkatkan APK pendidikan menengah pada tahun 2020 sebesar 97%.

Dalam menetapkan istilah PMU, Kemendikbud telah melakukan berbagai pertimbangan. Istilah wajib belajar (Wajar) seharusnya memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya mengamanatkan wajib belajar  pendidikan dasar 9 tahun, sedangkan untuk wajar  pendidikan menengah 12 tahun tidak diamanatkan. Istilah pendidikan universal pertama kali diperkenalkan UNESCO. Untuk menyebut wajar 9 tahun, UNESCO tidak menggunakan istilah "compulsory basic education", melainkan menggunakan istilah "universal basic education". Pengertian universal merupakan konsep yang digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam memberikan pelayanan umum kepada publik (public service obligation).

Selain itu, istilah wajar mengandung unsur pemaksaan dan memiliki konsekuensi logis terkait dengan sanksi bagi yang tidak mengikutiya. Padahal, program PMU sama halnya dengan program wajar, hanya saja tidak diperlakukan sanksi dan tidak ada unsur pemaksaaan kepada anak yang berusia 16-18 tahun untuk mengikutinya. Diharapkan, penggunaaan istilah PMU dapat "mendorong" para lulusan SMP/MTs atau yang sederajat untuk mengikuti pendidikan pada jenjang menengah. Oleh karena itu, pelaksanaan PMU memiliki prinsip dasar: 1) menjaga mutu, kualitas lulusan tetap dipertahankan dengan tidak terpengaruh adanya penambahan daya tampung; 2) mempertimbangkan komposisi jumlah SMA-SMK sesuai dengan potensi dan kebutuhan daerah; 3) pemerataan distribusi layanan pendidikan menengah untuk menjangkau yang tidak terjangkau; 4) peningkatan kebekerjaan (employability) lulusan (khususnya SMK); dan 5) pencapaian target APK pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap (Ditjen. Pendidikan Menengah, 2012).

Sejalan dengan penyelenggaraan PMU, Pemerintah akan menempuh beberapa strategi pokok pembangunan satuan pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan sistem pembelajaran. Selanjutnya, perencanaan kebutuhan penyelenggaraan PMU yang meliputi kurikulum dan penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana pendidikan, penyediaan dana BOS, BSM, BOP Paket C, bakat dan minat, yang didasarkan pada jumlah dan distribusi penduduk usia  pendidikan menengah di tingkat kabupaten/kota. Dalam skenario pencapaian sasaran PMU, Pemerintah antara lain perlu melakukan: 1) identifikasi perkiraan kebutuhan anggaran; 2) pembagian peran antara Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; dan 3)  perimbangan komposisi SMA dan SMK sesuai dengan potensi daerah. 

3.        Teori Lokasi

Teori lokasi berkaitan dengan lokasi geografis dari suatu aktivitas ekonomi. Teori lokasi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. (Tarigan, 2006:77, dalam Febriyanti, 2012). Sekolah sebagai salah satu pendukung aktivitas social, didalam pemilihan lokasinya, sebenarnya tidak lepas dari teori lokasi ini.

Letak suatu sekolah, diharapkan dalam suatu lokasi yang baik atau optimal. Menurut Daldjoeni (1992:61), lokasi optimal adalah lokasi yang terbaik secara ekonomis. Model yang sederhana dari teori lokasi adalah memperoleh keuntungan ekonomi dengan cara meminimkan biaya transportasi. Para ahli ekonomi mempunyai kecocokan dengan model biaya transportasi, produk yang mempunyai biaya pengiriman tinggi, cenderung sensitif terhadap biaya transportasi (Blair, 1995 : 43). Menurut John P Blair dan Robert Premus, dalam perkembangannya, variasi mengenai ruang di dalam ukuran pasar, perbedaan biaya produksi, kenyamanan wilayah, kemajuan teknologi dan faktor lain, terintegrasi ke dalam model yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan mengenai lokasi (Bingham dan Miered, 1993:3).

4.        Aksesibilitas

Aksesibilitas adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi apakah  suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak. Tingkat aksesibilitas merupakan  tingkat  kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Lebih lanjut Tarigan mengungkapkan bahwa tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur tersebut.

Keterjangkauan suatu wilayah dari lokasi satu ke lokasi lain dapat dilihat dari jarak wilayah dengan pusat wilayah, frekuensi angkutan dan alat angkutan yang tersedia dari pusat wilayah, serta jarak daerah dari jalur transportasi. Selanjutnya Malisa, 2012, (dalam Satri, 2012) sebagaimana Apabila suatu wilayah mudah dijangkau dengan faktor –faktor penunjang diatas maka wilayah tersebut dapat dikatakan wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi, apabila suatu wilayah sulit dijangkau dengan faktor – faktor penunjang diatas maka wilayah tersebut dapat dikatakan dengan aksesibilitas rendah (malisa : 2012, dalam Satri,2012).

Selanjutnya Dalam analisis kota yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999: 160) . Standar lokasi sekolah telah diatur didalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24 Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar / Madrasah Ibtidaiyah (SD/MI) Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Ketentuan yang mempengaruhi penentuan lokasi SMA/MA, sebagaimana tercantum  dalam lampiran Permendiknas, adalah sebagai berikut: 

1.         Satu SMA/MA  memiliki minimum 3 rombongan belajar dan maksimum 27  rombongan belajar.

2.         Satu SMA/MA dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 6000 jiwa. Untuk pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombongan belajar di sekolah yang telah ada atau pembangunan SMA/MA baru.

3.         Lahan sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah  tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota atau rencana lain yang lebih rinci dan mengikat, dan mendapat izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah setempat. 

 

METODOLOGI PENELITIAN

A.       Jenis dan Pendekatan Penelitian

Jenis penelitian ada 3, yaitu 1) Exploratory research, adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari kejelasan suatu masalah.  2) Descriptive research, penelitian yang bertujuan untuk mencari deskripsi suatu objek. 3) Verificative research (Explanatory research), penelitian yang bertujuan untuk mengetahui kejelasan hubungan variabel. Dengan demikian jenis penelitian yang dilakukan dalam studi ini adalah Verificative research (Explanatory research) karena ingin mengetahui  kejelasan hubungan antara APK dengan Karakteristik Wilayah yang terdiri dari karakteristik: geografis, sarana pendidikan, aksesibilitas, ekonomi, social dan psikologi.  

Pendekatan yang digunakan dalam studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif.  Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.  Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena berupaya untuk mengidentifikasi dan menggambarkan secara lebih komprehensif  mengenai motivasi dan sikap responden terhadap keberlanjutan pendidikan ke jenjang SMA sederajat

Penelitian kuantitatif merupakan penelitian yang lebih mengutamakan pada pengumpulan data yang akan diukur.  Dalam penelitian ini pengumpulan data kuantitatif dilakukan untuk mengetahui APK, kondisi geografis, sarana pendidikan, Aksesibilitas, kondisi ekonomi dan kondisi social, serta keterkaitan APK dengan karakteristik wilayah.  Dengan demikian, studi ini dapat dikatakan gabungan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif agar dapat saling melengkapi.

B.       Instrumen Penelitian

Selain menggunakan data sekunder, penelitian ini menggunakan angket sebagai instrumen pengumpul data. Angket yang digunakan ada 3 jenis, yaitu Jenis A adalah angket untuk orang tua, angket B untuk anak, Angket C untuk kepala sekolah/guru SMA/sederajat.

Tabel 1.

Metode Pengumpulan Data dan Sumber Data

Komponen

Variabel

Indikator

Metode pengumpulan data

Sumber Data

Instrumen

Pola sebaran APK

 

 

 

 

 

 

APK

Jumlah siswa SMA sederajat

Dokumen

BPS

Buku Kabupaten Magelang Dalam Angka

Jumlah penduduk usia skolah 16-18 tahun

Dokumen

BPS

Buku Kabupaten Magelang Dalam Angka

Sarana Pendidikan

Jumlah fasilitas pendidikan

Dokumen

DISDIKPORA

Buku profil Pendidikan

Jumlah daya tamping

Dokumen

DISDIKPORA

Buku profil Pendidikan

Karakteristik Wilayah

Kondisi ekonomi

PDRB Per Kapita

Dokumen

BPS

Buku PDRB

Tingkat kemiskinan

Dokumen

BPS

Data PPLS 2011

Kondisi social

Mata Pencaharian

Angket

Orang tua

Anak

Angket A

Angket B

Tingkat pendidikan

Angket

Orang tua

Anak

Angket A

Angket B

Aksesibilitas

Jarak

Angket

Anak

Angket B

 

Transportasi

Angket

Anak

Angket B

 

Waktu tempuh

Angket

Anak

Angket B

Kondisi Budaya

Sikap

Angket

Orang tua

Anak

Angket A

Angket B

Motivasi

Angket

Orang tua

Anak

Angket A

Angket B

Kesiapan implementasi PMU

 

 

Angket

Kepala Sekolah/Guru

Angket C

 

 

C.       Teknik Analisa Data

Teknik analisis data penelitian ini menggunakan program SPSS (metode korelasi dan tabulasi silang)  dan program ArcGis 9.3.  Metode korelasi digunakan untuk mengetahui hubungan antara APK dengan PDRB perkapita, tingkat kemiskinan, fasilitas pendidikan, daya tampung. Metode tabulasi silang digunakan untuk mengetahui hubungan APK dengan tingkat pendidikan, mata pencaharian penduduk, aksesibilitas (jarak, waktu tempuh dan fasilitas transportasi). Sedangkan program ArcGis 9.3 digunakan untuk mengetahui pola sebaran APK per Kecamatan. Untuk kondisi budaya  dianalisis dengan analisis kualitatif dengan menggunakan angket pertanyaan terbuka.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

1.        Pola Sebaran APK

APK SM di Kabupaten Magelang Tahun 2013 sebesar 47,26 %. Angka ini lebih rendah dibandingkan APK Provinsi Jawa Tengah sebesar 73,05 % dan APK Nasional sebesar 78,19 %. APK sebesar 47,26% disumbang oleh APK 21 Kecamatan di Kabupaten Magelang. Secara ringkas APK masing-masing Kecamatan terlihat pada tabel 4.7 berikut ini:

Tabel 2.

APK Per Kecamatan di Kabupaten Magelang

NO

KECAMATAN

JUMLAH PENDUDUK YANG SEKOLAH DI SM

JUMLAH PENDUDUK UMUR 16-18 TAHUN

APK = (3/4)*100

(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

1

 Salaman

2.725

3.440

79,22

2

 Borobudur

1.421

2.901

48,98

3

 Ngluwar

705

1.552

45,43

4

 Salam

3.117

2.319

134,41

5

 Srumbung

112

2.349

4,77

6

 Dukun

736

2.244

32,80

7

 Muntilan

5.034

3.910

128,75

8

 Mungkid

1.643

3.602

45,61

9

 Sawangan

184

2.811

6,55

10

 Candimulyo

432

2.373

18,20

11

 Mertoyudan

4.980

5.504

90,48

12

 Tempuran

518

2.426

21,35

13

 Kajoran

162

2.670

6,07

14

 Kaliangkrik

499

2.732

18,27

15

 Bandongan

1.248

2.849

43,80

16

 Windusari

754

2.430

31,03

17

 Secang

928

3.943

23,54

18

 Tegalrejo

1.444

2.798

51,61

19

 Pakis

187

2.712

6,90

20

 Grabag 

1.889

4.266

44,28

21

 Ngablak

485

1.958

24,77

Kab. Magelang

29.203

61.789

47,26

Sumber : Buku Profil Pendidikan Kab. Magelang, data diolah

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa Kecamatan yang memiliki APK tertinggi adalah Kecamatan Salam dengan APK sebesar 134,41 % dan APK terendah adalah Kecamatan Srumbung dengan APK sebesar 4,77 %. Angka tersebut mengandung arti bahwa di Kecamatan Salam jumlah anak yang bersekolah di Kecamatan Salam lebih besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 16-18 tahun. Sedangkan di Kecamatan Srumbung, jumlah anak yang bersekolah di SMA sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 16-18 tahun.

Untuk mengetahui kategori tingkat APK tiap kecamatan, digunakan analisa dengan menggunakan program ArcGis 9.3 dengan metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks). Hasil Analisis adalah seperti gambar berikut:

Gambar 1.

Peta Kategori Angka Partispasi Kasar Tiap Kecamatan di Kab. Magelang

 

2.        Keterkaitan APK dengan Kondisi Geografis

Penelitian ini menggunakan topografi wilayah sebagai indikator yang menggambarkan kondisi geografis. Sesuai dengan RTRW Kabupaten Magelang tahun 2010-2030, topografi wilayah di Kabupaten Magelang dibagi menjadi 4, yaitu : (1). Datar (kemiringan 0 – 2 %, (2). Bergelombang sampai berombak (Kemiringan 2 – 15%), (3). Bergelombang sampai berbukit (emiringan 15-40%) dan (4). Berbukit sampai bergunung-gunung (Kemiringan > 40%).

Untuk mengetahui keterkaitan APK dengan Kondisi Geografis Wilayah, disandingkan kategori APK dengan topografi wilayah. Adapun data sandingan per Kecamatan adalah sebagai berikut :

Tabel 3.

Kategori APK dan Topografi wilayah

No

Kecamatan

Kategori APK

Topografi

1

Srumbung

Rendah

Berbukit sampai bergunung-gunung

2

Sawangan

Rendah

Berbukit sampai bergunung-gunung

3

Candimulyo

Rendah

Bergelombang sampai berbukit

4

Pakis

Rendah

Berbukit sampai bergunung-gunung

5

Ngablak

Rendah

Berbukit sampai bergunung-gunung

6

Secang

Rendah

Bergelombang sampai berbukit

7

Tempuran

Rendah

Bergelombang sampai berbukit

8

Kaliangkrik

Rendah

Berbukit sampai bergunung-gunung

9

Kajoran

Rendah

Bergelombang sampai berbukit

10

Grabag

Sedang

Bergelombang sampai berombak

11

Tegalrejo

Sedang

Bergelombang sampai berombak

12

Dukun

Sedang

Bergelombang sampai berombak

13

Mungkid

Sedang

Bergelombang sampai berombak

14

Windusari

Sedang

Bergelombang sampai berbukit

15

Bandungan

Sedang

Bergelombang sampai berombak

16

Borobudur

Sedang

Bergelombang sampai berombak

17

Ngluwar

Sedang

Bergelombang sampai berombak

18

Salam

Tinggi

Bergelombang sampai berombak

19

Muntilan

Tinggi

Bergelombang sampai berombak

20

Mertoyudan

Tinggi

Datar

21

Salaman

Tinggi

Datar

Sumber : Data sekunder, diolah

            Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa pola sebaran APK untuk Kecamatan yang memiliki APK rendah terdapat di wilayah timur dan barat yang merupakan wilayah dengan topografi berbukit sampai bergunung-gunung. Sementara itu untuk Kecamatan yang memiliki APK tinggi berada di posisi tengah yang merupakan wilayah dengan topografi datar sampai bergelombang.

3.        Keterkaitan APK dengan Sarana Pendidikan

Indikator sarana pendidikan SMA sederajat pada penelitian ini adalah jumlah sekolah SMA sederajat dan daya tampung. Jumlah sekolah berkaitan dengan jumlah daya tampung siswa lulusan SMP yang dapat ditampug di SMA.

Persebaran jumlah sekolah dan daya tampung untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 2.

Peta Jumlah Sekolah dan Jumlah Daya Tampung Siswa

Dari analisis diperoleh hasil pola sebaran APK kategori tinggi berada di wilayah kecamatan yang memiliki sekolah dan daya tampung dalam jumlah yang besar, APK rendah pada wilayah-wilayah yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung sedikit.

Hubungan APK dengan jumlah sekolah dan daya tampung dianalisis juga dengan menggunakan korelasi pearson. Dengan menggunakan metode analisis korelasi pearson diperoleh nilai korelasi sebesar 0,742 yang berarti  bahwa antara dua variabel tersebut terdapat hubungan yang kuat. Dengan melihat nilai signifikansi yaitu sebesar 0,000 < 0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan Jumlah Sekolah.

Untuk memperkuat analisis, dihitung juga korelasi antara APK dengan daya tampung, diperoleh nilai korelasi pearson sebesar 0,895. Berarti bahwa antara dua variabel tersebut terdapat hubungan yang sangat kuat. Dengan melihat nilai signifikansi sebesar 0,000 < 0,05, berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan Daya Tampung.

Dari dua analisis tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara APK dengan jumlah sekolah dan daya tampung. Dengan kata lain APK atau tingkat partisipasi pendidikan masyarakat dipengaruhi oleh jumlah sarana pendidikan yang ada. APK tinggi berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung besar, sedangkan AKP rendah berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung sedikit.

Dari analisis keterkaitan APK dengan kondisi geografis dan APK dengan jumlah sarana pendidikan dapat diketahui pola sebaran APK berdasarkan  indikator topografi wilayah, jumlah sekolah SMA sederajat di wilayah tersebut dan daya tampung SMA sederajat diperoleh hasil bahwa APK tinggi berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah banyak, jumlah daya tampung siswa besar dan mempunyai topografi yang datar, sedangkan APK rendah berada pada wilayah yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung sedikit serta topografinya merupakan daerah yang bergunung-gunung.

4.        Keterkaitan APK dengan Kondisi Ekonomi

Untuk melihat keterkaitan APK dengan kondisi ekonomi, dilakukan analisis korelasi dengan melihat keterkaitan APK dengan PDRB Perapita, APK dengan pendapatan masyarakat dan APK dengan tingkat kemiskinan. Data PDRB Perkapita menggunakan data sekunder yang bersumber dari PDRB Kecamatan Tahun 2012 sedangkan data pendapatan masyarakat menggunakan data primer bersumber dari kuesioner untuk orang tua dan anak. Untuk data tingkat kemiskinan menggunakan data sekunder bersumber dari data PPLS 2011. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan APK dengan kondisi ekonomi.

5.        Keterkaitan APK dengan Kondisi Sosial

Hasil tabulasi silang antara APK dengan mata pencaharian penduduk diperoleh nilai Chi-Square sebesar 20,527 dengan nilai signifikansi sebesar 0,001. Karena nilai signifikansi < 0,05 maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan Pekerjaan Orang Tua, artinya bahwa ada keterkaitan antara APK dengan Mata Pencaharian Penduduk.

Dari hasil analisis tabulasi silang antara APK dengan tingkat pendidikan orang tua diperoleh hasil nilai Chi-Square sebesar 19,426 dan nila signifikansi sebesar 0,001. Karena Chi-Square hitung (19,426) lebih besar dari nilai Chi-Square tabel (9,488) dan signifikansi sebesar 0,001 lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara partisipasi sekolah dengan tingkat pendidikan orang tua, yang berarti  bahwa ada keterkaitan antara APK dengan Tingkat Pendidikan Penduduk.

6.        Keterkaitan APK dengan Aksesibilitas

Hasil analisis tabulasi silang antara APK dengan jarak tempat tinggal ke sekolah diperoleh hasil bahwa nilai Chi-Square sebesar 3,438 dan nilai signifikansi sebesar 0,179. Karena nilai signifikansi lebih besar 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara APK dengan jarak tempat tinggal ke sekolah.

Untuk keterkaitan antar APK dengan transportasi diperoleh hasil Chi Square sebesar 11,963 dan nilai signifikansi sebesar 0,003. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan alat transportasi yang digunakan.

Sedangkan untuk variabel waktu tempuh, diperoleh nilai chi square sebesar 4,539 dan nilai signifikansi sebesar 0,33. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara partisipasi sekolah dengan waktu tempuh ke sekolah terdekat.

Dengan melihat hasil hubungan antara APK dengan variabel jarak, alat trasportasi dan waktu tempuh tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan Aksesibilitas.

7.        Keterkaitan APK dengan Kondisi Budaya

Variabel kondisi budaya dalam penelitian ini dibatasi pada motivasi dan sikap anak atau orang tua dalam memutuskan melanjutkan atau tidak melanutkan ke jenjang sekolah menengah. Dari analisis data sekunder diperoleh hasil bahwa motivasi anak dan orang tua untuk melanjutkan ke jenjang sekolah menengah sangat tinggi namun demikian karena menentukan sikap tidak melanjutkan karena terkendala masalah keterbatasan biaya. Ada dua kecamatan yaitu Kecamatan Srumbung dan Sawangan, baik dari sisi orang tua maupun anak, minat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA sederajat masih rendah. Apabila dilihat nilai APK,  kecamatan tersebut memiliki APK yang rendah. 

8.        Kesiapan Kabupaten Magelang dalam Menghadapi Implementasi PMU

a.        Kondisi PMU di Kabupaten Magelang

1)        Capaian APK SM di Kabupaten Magelang

APK Kabupaten Magelang berada pada nomor urut 34 dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan APK sebesar 44,71%. Dengan capaian APK ini, Kabupaten Magelang menjadi target prioritas 1 di Provinsi Jawa Tengah untuk peningkatan akses pendidikan di tiap kabupaten/kota. Pengelompokan tingkat capaian APK di Provinsi Jawa dalam rangka peningkatan akses pendidikan menengah adalah sebagai berikut (Kemendikbud,2013):

1.        Prioritas 1 : tingkat capaian APK pendidikan menengah rendah dengan nilai APK kurang dari 55%

2.        Prioritas 2 : tingkat capaian APK pendidikan menengah antara 55% - 85%.

2)   Persebaran Satuan Pendidikan

Di Kabupaten Magelang terdapat 95 SMA/SMK/MA, yang terdiri dari 35 SMA, 42 SMK dan 18 MA. Kecamatan dengan jumlah satuan pendidikan menengah tertinggi adalah Kecamatan Muntilan dengan 16 sekolah dan terendah adalah Kecamatan Srumbung, Kecamatan Pakis, Kecamatan Ngablak, Kecamatan Tempuran masing-masing 1 sekolah.

Apabila dibandingkan dengan jumlah SMP/MTs menunjukkan bahwa rasio jumlah SM terhadap SMP di kecamatan sangat bervariasi. Tabel 3.2 menunjukkan hasil analisis rasio jumlah SM terhadap jumlah SMP. Berdasarkan hasil analisis rasio diperoleh hasil bahwa rasio paling kecil ada di Kecamatan Srumbung, Tempuran, Kajoran, Pakis dan Ngablak. Kecamatan Muntilan memiliki rasio yang tinggi yaitu sebesar 0,89.

Berdasarkan analisis rasio jumlah daya tampung terhadap jumlah lulusan SMP diperoleh hasil bahwa di Kabupaten Magelang jumlah lulusan SMP yang dapat ditampung di SMA  baru sebesar 76%. Artinya masih ada 24% siswa lulusan SMP yang tidak dapat ditampung di SMA di Kabupaten Magelang. Hal ini berarti di Kabupaten Magelang masih memerlukan tambahan satuan pendidikan untuk dapat menampung 100% lulusan SMP. Kecamatan yang kritis adalah kecamatan Srumbung, Sawangan, Kajoran dan Pakis

3)   Kualifikasi Pendidik

Kualitas guru sangat penting dalam rangka menghasilkan lulusan yang bermutu dan kompeten. Kualifikasi guru SM di Kabupaten Magelang kondisinya sudah cukup bagus. Dari sebanyak 2.383 guru SM, 2.021 orang telah berkualifikasi S1/D4 dan sebanyak 96 orang telah berkualifikasi S2 dan S3. Namun demikian masih ada yang berkualifikasi D1/D2/D3 sebanyak 266 orang.

Dengan demikian persentase guru SM yang telah memiliki kualifikasi > S1/D4 di Kabupaten Magelang sudah cukup tinggi yaitu sebesar 88,84%.

b.    Kesiapan Menghadapi PMU di Kabupaten Magelang

Untuk mengetahui kesiapan dalam menghadapi PMU, dalam penelitian hanya digunakan sampel dari kepala sekolah/guru dikarenakan dalam penelitian ini digokuskan pada analisis APK. Jumlah sampel sekolah dilakukan dengan cara kuota. Daerah yang jumlah sekolah SMA sederajat banyak, diambil sampel dengan perbandingan 1:3. Maksudnya tiap 3 sekolahan di daerah tertentu, diambil satu sampel yang memadai. Sekolah yang dijadikan sampel sebanyak 13 sekolah, yang komposisinya adalah sebagaimana table dibawah :

            Berdasarkan angket terbuka, dianalisis data responden untuk mengetahui kendala dan kesiapan SMA sederajat dalam implementasi PMU di Kabupaten Magelang. Dari hasil analisis data primer, diperoleh informasi sebagai berikut :

1)        Sekolah mengalami kendala dalam hal pembiayaan terhadap implementasi PMU.

2)        Budaya masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya sampai jenjang SMA sederajat belum optimal.

3)        Belum optimalnya minat anak untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA sederajat.

4)        Kurangnya sosialisasi pentingnya pendidikan jenjang SMA sederajat.

5)        Terbatasnya sarana dan prasarana.

6)        Kurikulum yang sering berganti-ganti.

7)        Transportasi yang masih sulit di daerah-daerah tertentu.

8)        Perlu bantuan ke sekolah berupa beasiswa untuk siswa miskin dan sarana  praktek.

 

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

A.       Kesimpulan

Dari hasil analisis dan pembahasan dalam bab sebelumnya, diambil kesimpulan sebagai berikut:

1.        Berdasarkan analisis Arc Gis, disimpulkan ada 9 Kecamatan di Kabupaten Magelang yang memiliki tingkat APK rendah, 8 Kecamatan APK sedang dan 4 Kecamatan dengan APK tinggi.

2.        Pola sebaran APK  SMA sederajat di Kabupaten Magelang :

a.    APK SMA sederajat rendah berada di Kecamatan dengan topografi berbukit sampai bergunung-gunung, jumlah sarana pendidikan sedikit dan daya tampung sekolah sedikit. Kecamatan yang memiliki APK rendah  berada di wilayah timur dan barat yang merupakan wilayah dataran tinggi karena berada di lereng gunung, yaitu gunung Merapi dan Merbabu di sisi timur dan Gunung Sumbing di sisi barat.

b.   APK SMA sederajat tinggi berada di Kecamatan dengan topografi datar atau bergelombang sampai berombak, jumlah sarana pendidikan banyak dan daya tampung banyak. Kecamatan yang memiliki APK tinggi berada di sisi selatan yang merupakan wilayah dataran rendah dan sebagian besar di wilayah tengah yang berada di jalur jalan arteri Semarang-Yogyakarta yang merupakan jalur strategis dan cepat tumbuh.

3.        Berdasarkan analisis korelasi dan tabulasi silang diketahui bahwa terdapat hubungan antara APK dengan karakteristik wilayah yang meliputi karakteristik ekonomi, karakteristik sosial, aksesibilitas dan kondisi budaya.

a.         Karakteristik Ekonomi

1)        Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan Pendapatan

2)        Terdapat hubungan  yang kuat antara APK dan tingkat kemiskinan

b.         Kondisi sosial

1)        Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan tingkat pendidikan penduduk

2)        Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan mata pencaharian penduduk

c.         Aksesibilitas

1)        Tidak terdapat hubungan antara APK dengan jarak.

2)        Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan alat transportasi.

3)        Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan waktu tempuh.

d.    Motivasi orang tua dan anak untuk menempuh jenjang pendidikan SMA Sederajat tinggi, namun mereka mengambil sikap untuk tidak melanjutkan sekolah karena kemampuan ekonomi kurangnya kesadaran akan pentingnya pendidikan SMA Sedarajat terutama di Kecamatan Srumbung dan Sawangan.

e.    Kabupaten Magelang masih perlu mempersiapkan banyak hal dalam rangka implementasi PMU.

 

B.       Rekomendasi

Dari kesimpulan di atas disampaikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:

1.        Perlu pemerataan sarana pendidikan pendidikan jenjang SMA sederajat yaitu dengan penambahan jumlah unit sekolah baru, ruang kelas baru dan atau kejar paket C  di daerah yang memiliki APK rendah. Hal ini sesuai dengan amanat pasal 4 Permendikbud Nomor 80 Tahun 2013 tentang PMU yang mengamanatkan bahwa di setiap wilayah kecamatan minimal terdapat 1 sekolah jenjang pendidikan Menengah.

2.        Perlu bantuan penyelenggaraan pendidikan bagi sekolah-sekolah swasta untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan.

3.        Perlu bantuan bagi siswa dari keluarga tidak mampu agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.

4.        Perlu peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam rangka peningkatan partisipasi sekolah menengah.

5.        Perlu sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pendidikan menengah.

6.        Diperlukan penambahan jalur angkutan umum untuk melayani jalur yang melewati sekolah menengah agar akses ke sekolah lebih mudah.


DAFTAR PUSTAKA

 

Tarigan, 2006, perencanaan pembangunan wilayah, bumi aksara, Jakarta.

Jayadinata, Johara, T,  1999,  Tata guna tanah dalam perencanaan pedesaan, perkotaan, dan wilayah, Penertib ITB.

Satri, Desi et.al, 2012, Evaluasi sebaran lokasi fasilitas pendidikan terhadap tempat tinggal peserta didik sekolah menengah pertama /SMP dan sekolah menengah atas/SMA di Kota Solok, Program Studi Pendidikan Geografi FIS Universitas Negeri Padang.

Febriyanti, A Dita, 2012,  Implikasi Teori Lokasi Terhadap Penentuan Lokasi Industri di Kompleks SIER Surabaya, http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/29/implikasi-teori-lokasi-terhadap-penentuan-lokasi-industri-di-kompleks-sier-surabaya-458428.html

Siregar, Hermanto dan Wahyuniarti, Dwi, 2006, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Institut Pertanian Bogor, Brighten Institute.

Wiguna, Van Indra,  2013, Analisis Pengaruh  PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran  Terhadap  Kemiskinan di  Provinsi  Jawa  Tengah, Universitas Brawijaya, Malang

Windarto, Rony, 2013, Minat  Siswa  SMP Negeri  Melanjutkan ke  SMK Ditinjau  Dari Sosial  Ekonomi Keluarga di Kabupaten Bantul,  Jurnal Pendidikan Vokasi, Vol 3, Nomor 1, Februari 2013, Program Studi Pendidikan Teknologi dan Kejuruan PPs UNY.

Rondinelli, Dennis, A, 1985, Applied methods of regional analysis the spatial dimensions of development policy, westview press/boulder and london

Blair, John P, 1995, Local Economic Development, Analysis and Practice, SAGE Publication.

http://repository.upi.edu/833/4/T_ADPEN_009712_Chapter1.pdf, tanggal diakses, 14 Juni 2014.

Kompas, 17 April 2001 dan Septiana, 2008

 

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara