PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kabupaten
Magelang sebagai salah satu Kabupaten di Wilayah Provinsi Jawa Tengah,
menyikapi desentralisasi pendidikan dengan
menyelaraskan
kebijakan daerah dengan kebijakan pusat. Langkah konkrit yang dilaksanakan
adalah menempatkan urusan Pendidikan sebagai salah satu program prioritas pembangunan daerah yang dituangkan dalam dokumen Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Magelang Tahun 2014-2019.
Fakta
di Kabupaten Magelang, APK SMP th 2012/2013 adalah 94,56, berada pada urutan ke
33 dari 35 Kabupaten/Kota se Jawa Tengah (Dokumen RPJMD Provinsi Jawa Tengah).
Dibandingkan APK Jawa Tengan (100,50) dan APK nasional (97), APK SMP di Kabupaten Magelang masih berada pada angka yang lebih rendah.
APK
jenjang SMA sederajat di Kabupaten Magelang th 2012/2013 sebesar 65,10, berada
pada urutan 20 dari 35 Kabupaten Kota di Jawa Tengah. APK Jawa Tengah th
2012/2013 sebesar 73,05% dan APK Nasional sebesar 78,19% Berarti bahwa APK
Jenjang SMA sederajat di Kabupaten Magelang berada di bawah APK Provinsi Jawa
Tengah dan APK Nasional.
Nilai
APK memberikan sumbangsih yang besar dalam membentuk nilai rata-rata lama
sekolah. Seperti disebutkan diatas, tahun 2013 APK tingkat SMP di Kabupaten Magelang sebesar
94,56. Berpedoman pada ketetapan
kategori tahapan pencapaian ketuntasan
wajib belajar 9 tahun seperti tersebut di atas, ketuntasan wajar 9 tahun di Kabupaten
Magelang masuk pada kategori tuntas utama, yang berarti bahwa wajar 9 tahun di
Kabupaten Magelang belum paripurna atau belum tuntas. Tahun 2013 rata-rata lama sekolah sebesar di kabupaten
Magelang sebesar 7,55.
Berarti bahwa rata-rata pendidikan penduduk Kabupaten Magelang
hanya sampai pada pertengahan kelas I SMP.
Untuk meningkatkan APK di
Kabupaten Magelang, perlu upaya bersama berbagai pihak dalam menangani
permasalahan tersebut. Upaya ini akan berjalan dengan efektif dan efisien
apabila diketahui dengan jelas wilayah mana di Kabupaten Magelang yang memiliki
APK rendah dan bagaimana karakteristik sosial ekonomi, karakter fisiografis,
persebaran penduduk usia 16-18 yang tidak mengenyam pendidikan SMA sederajat,
dan teridentifikasinya faktor-faktor yang berkaitan dengan APK.
Capaian APK SMA
sederajat di Kabupaten Magelang tahun 2013 adalah 65,10. Target PMU pada tahun
2020, APK tingkat SMA sederajat Nasioanal sebesar 97. Untuk mencapai target
PMU, kabupaten Magelang perlu meningkatan capaian APK SMA sederajat sebesar
31,90 selama 4 tahun. Berarti bahwa rata-rata peningkatan APK pertahun yang
harus dicapai Kabupaten Magelang sebesar 7,98.
Melihat fenomena saat ini dimana
capaian APK Kabupaten Magelang masih berada di bawah rata-rata APK Jawa Tengah
dan Nasional, dan memperhatikan kesenjangan fakta APK SMA sederajat di Kabupaten
Magelang dengan target capaian APK SMA sederajat program PMU Kemendiknas pada
tahun 2020, maka diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat meningkatkan APK. Kebijakan tersebut tidak hanya
kebijakan di bidang pendidikan namun harus bersifat komprehensip semua bidang,
baik bidang sosial, ekonomi, budaya serta keruangan. Agar kebijakan-kebijakan yang dipilih tepat sasaran
maka dilakukan penelitian yang mengambil tema tentang APK dengan judul “Analisis Angka Partisipasi
Kasar pada Jenjang Pendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) Sederajat dalam rangka
Persiapan Implementasi Pendidikan Menengah Universal di Kabupaten Magelang”.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan
penelitian ini adalah mengkaji Angka Partisipasi Kasar pada jenjang Pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sederajat di Kabupaten Magelang, dalam rangka
menyiapkan program Pendidikan Menengah Universal (PMU) dan menghasilkan alternatif kebijakan yang mampu
maningkatkan nilai APK.
C. Ruang Lingkup
Ruang
lingkup penelitian Analisis Angka Partisipasi Kasar pada Jenjang Pendidikan
Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Sederajat guna Persiapan
Implementasi Program PMU di Kabupaten Magelang ini difokuskan
untuk mengetahui pola sebaran APK dan keterkaitan APK dengan karakteristik
wilayah.
D.
Hasil yang Diharapkan
Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah untuk
mengidentifikasikan pola sebaran capaian APK di Kabupaten Magelang dan mengidentifikasikan keterkaitan APK dengan karakteristik wilayah
yang meliputi kondisi geografis, kondisi sarana pendidikan, ekonomi, sosial, Aksesibilitas,
budaya serta mengetahui kesiapan implementasi PMU di Kabupaten Magelang.
TINJAUAN
PUSTAKA
1.
Angka Partisipasi Kasar
Angka Partisipasi
Kasar (APK) adalah rasio jumlah siswa, berapapun usianya, yang sedang sekolah di tingkat pendidikan tertentu
terhadap jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang pendidikan
tertentu. APK didapat dengan membagi jumlah penduduk yang sedang bersekolah
(atau jumlah siswa), tanpa memperhitungkan umur, pada jenjang pendidikan
tertentu dengan jumlah penduduk kelompok usia yang berkaitan dengan jenjang
pendidikan tersebut.
Makin tinggi APK
berarti makin banyak anak usia sekolah yang bersekolah disuatu daerah, atau
makin banyak anak usia di luar kelompok usia sekolah tertentu bersekolah di
tingkat pendidikan tertentu. Nilai APK bisa lebih besar dari 100% karena adanya
siswa di luar usia sekolah, daerah kota, atau
daerah perbatasan. Indikator ini digunakan untuk mengetahui banyaknya anak usia
sekolah yang bersekolah disuatu jenjang pendidikan.
Nilai APK bisa lebih
dari 100 persen karena populasi murid yang bersekolah pada suatu jenjang
pendidikan mencakup anak di luar batas usia sekolah pada jenjang pendidikan
yang bersangkutan (misalnya anak bersekolah di SD berumur kurang dari 7 tahun atau lebih dari 12 tahun). Selain
itu, bisa juga disebabkan oleh adanya
siswa di luar wilayah yang bersekolah di
wilayah tersebut ataupun siswa penduduk wilayah tersebut yabf sekolah di
wilayah lain.
APK
merupakan indikator yang paling sederhana untuk mengukur daya serap penduduk
usia sekolah di masing-masing jenjang
pendidikan dan APK digunakan untuk mengukur keberhasilan program pendidikan
yang diselenggarakan dalam rangka memperluas kesempatan bagi penduduk untuk
mengenyam pendidikan. Meningkatnya partisipasi sekolah berarti menunjukkan
adanya keberhasilan di bidang pendidikan, utamanya yang berkaitan dengan upaya
memperluas jangkauan pendidikan. Angka partisipasi murni (APM) tidak digunakan
dalam penelitian ini karena terkadang akan terdapat kasus dimana terdapat siswa
yang berusia lebih tua dari pada usia jenjang pendidikan tertentu yang di
jalaninya, kasus ini bisa terjadi karena orang tersebut tinggal kelas,
terlambat masuk, sakit dan lainnya, maka begitu juga sebaliknya akan di temui
kasus dimana seseorang tersebut berusia lebih muda dibandingkan usia jenjang
pendidikan yang dijalaninya, hal ini bisa di sebabkan oleh terlalu cepat masuk
sekolah atau mendapat kelas akselerasi. Oleh karena itu Angka Partisipasi Kasar
penulis menilai lebih tepat di gunakan untuk menunjukkan berapa besar tingkat
partisipasi masyarakan secara umum disuatu tingkat pendidikan. Pada jenjang sekolah yang lebih tinggi
(SMA/SLTA) angka partisipasi sekolah penduduk masih rendah. Hal ini berkaitan
dengan kegiatan ekonomi penduduk pada usia tersebut yang sebagian besar
membantu orang tua untuk bekerja atau pada usia tersebut sudah menikah. Rendahnya partisipasi menurut Sidi (Kompas,
17 April 2001 dan Septiana, 2008) penyebab anak tidak melanjutkan sekolah
adalah adanya faktor budaya dan kurangnya kesadaran orangtua terhadap
pendidikan anak, keadaan geografis yang kurang menguntungkan dan kondisi
ekonomi orang tua yang miskin. Mengetahui keadaan angka partisipasi pada
pendidikan sangat penting bagi semua pihak, dengan mengetahui angka partisipasi
maka kita akan dapat mengetahui sejauh mana upaya pemerataan dan perluasan
akses pendidikan telah dicapai. Dan dengan angka partisipasi, kita dapat
mengetahui karakter atau variable, ketidakmerataan atau kesenjangan dalam
memperoleh akses pendidikan Sekolah Menengah Atas/Sederajat
2.
Pengembangan PMU
Saat ini,
Kemendikbud menetapkan penyelenggaraan program PMU sebagai program “rintisan
wajib” belar 12 tahun. Walaupun demikian, program Wajar Dikdas 9 tahun masih
perlu dituntaskan agar seluruh anak usia pendidikan dasar di Indonesia dapat
menyelesaikan pendidikannya sampai tamat SMP atau yang sederajat (http://www. Kemendikbud.go.id). Secara faktual,
sebenarnya program wajar 9 tahun belum sepenuhnya tuntas. Program ini hanya
mengurangi angka melek huruf dan angka partisipasi kasar (APK). Namun secara
kualitas, pendidikan wajar 9 tahun belum berkualitas, sekalipun Pemerintah telah menetapkan bahwa program
wajar 9 tahun telah selesai secara kuantitatif dengan ditunjukkannya APK SMP mencapai 97 persen. Dengan adanya
program PMU, diperkirakan pada tahun
2020 akan tercapai APK pendidikan menengah 97%, di mana anak berusia 16-18 tahun,
minimal lulus SMA/MA/SMK/MA, atau yang sederajat (Ditjen. Pendidikan Menengah,
2012).
Di samping itu,
dapat dikatakan bahwa program PMU merupakan program “preparatif dan
antisipatif” untuk menyambut “bonus emas demografi” di masa mendatang. Bonus
demografi atau demographic dividend
dimaknai sebagai keuntungan ekonomis yang disebabkan oleh menurunnya rasio
ketergantungan sebagai hasil proses proporsi umur penduduk muda dan
meningkatkan proporsi penduduk usia kerja (Adioetomo, 2005).
Lebih lanjut,
Adioetomo berpendapat bahwa perubahan struktur usia penduduk akibat transisi
demografi jangka panjang bedampak pada: 1) peningkatan jumlah tenaga kerja yang
apabila mendapatkan kesempatan kerja yang produktif akan meningkatkan total output; 2) penumpukan kekayaan
yang lebih besar, apabila ada tabungan masyarakat yang diinvestasikan secara
produktif; dan 3) tersedianya human
capital yang jumlahnya lebih besar (dibandingkan waktu sebelumnya),
sehingga manakala ada kebijakan investasi yang khusus diarahkan untuk
meningkatkan kapasitas SDM, maka Indonesia memiliki peluang untuk menciptakan
peluang tenaga kerja tingkat menengah yang tangguh dan berkualitas untuk
mngelola sumber daya alamnya.
Mempertimbangkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2009 tentang Tenaga Kerja,
bahwasannya lulusan SMP/MTs atau yang sederajat belum layak bekerja, maka apabila
tidak melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki dampak sosial yang
lebih kompleks. Oleh karena itu, kebijakan penyelenggaraan program PMU harus
berorientasi pada: 1) pemberian kesempatan seluas-luasnya kepada seluruh Warga
Negara Republik Indonesia untuk mengikuti pendidikan menengah yang bermutu; 2)
Pemerintah memfasilitasi untuk menampung penduduk usia sekolah menengah; 3)
pembiayaan ditanggung bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat; serta 4) pemberian sanksi relatif longgar bagi anak usia sekolah
menengah yang tidak mengikuti (Ditjen. Pendidikan Menengah, 2012).
Atas
keberhasilan program Wajar Dikdas 9 tahun, Kemendikbud merasa perlu untuk
meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak bangsa dari 9 tahun menjadi 12
tahun. Secara logis, keberhasilan program Wajar Dikdas 9 tahun akan memiliki
dampak terhadap: 1) kewajiban anak usia 16-18 tahun untuk mengikuti pendidikan
lanjutan setelah lulus SMP/MTs atau yang sederajat; 2) biaya penyelenggaraan
program PMU ditanggung Pemerintah; dan 3) anak usia 16-18 yang tidak
mengikutinya dikenakan sanksi.
Pertimbangan
Pemerintah tidak memberlakukan PMU sebagai
program wajib belajar sebagaimana mestinya dikarenakan kondisi
masyarakat Indonesia masih banyak yang mengalami berbagai kendala, seperti
kendala geografis, sarana, sosial ekonomi, kultur, dan budaya. Dengan demikian,
dalam pelaksanaan program tersebut tidak
diberlakukan hukuman atau sanksi bagi anak yang tidak mengikutinya. Untuk
sementara ini, program PMU masih merupakan “himbauan” namun sifatnya “sangat
disarankan” (sunnah muakadah) bagi
lulusan SMP/MTs atau yang sederajat agar melanjutkan pendidikannya ke jenjang
pendidikan menengah (SMA/MA/ SMK/MAK).
Menurut
Direktorat Jenderal Pendidikan Menengah, beberapa hal yang melatar belakangi
penyelenggaraan pendidikan menengah universal (PMU) yaitu untuk: 1) menjaga kesinambungan pendidikan sebagai
konsekuensi logis atas keberhasilan wajar dikdas 9 tahun; 2) memanfatkan periode bonus demografi; 3)
mendukung tercapainya target Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI); 4) memperkuat daya saing bangsa; dan 5) menyongsong 100
tahun Indonesia merdeka. Atas dasar tersebut, maka Pemerintah merasa perlu mengambil
langkah strategis untuk mempersiapkan program PMU, yang mencakup SMA, MA dan SMK
(Ditjen.Pendidikan Menengah, 2012).
Penelitian terhadap program PMU
dilatar belakangi oleh beberapa hal, antara lain: Pemerintah (Kemendikbud)
telah menetapkan kebijakan PMU untuk
menyiapkan SDM yang bermutu dan unggul sehingga dapat hidup mandiri dan
mampu berdaya saing dalam era global, sekaligus
untuk mengantisipasi Indonesia
sebagai 7 negara industri maju, memanfaatkan bonus demografi, dan membuka
kesempatan warga yang telah menuntaskan pendidikan 9 tahun serta untuk
meningkatkan akses warga negara usia 16 sd 18 tahun untuk mengikuti pendidikan
pada pendidikan menengah. Atas dasar tersebut, sasaran teknis yang ingin
dicapai dalam pelaksanaan program PMU
yaitu meningkatkan APK pendidikan menengah pada tahun 2020 sebesar 97%.
Dalam
menetapkan istilah PMU,
Kemendikbud telah melakukan berbagai pertimbangan. Istilah wajib belajar
(Wajar) seharusnya memiliki dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional hanya
mengamanatkan wajib belajar pendidikan
dasar 9 tahun, sedangkan untuk wajar
pendidikan menengah 12 tahun tidak diamanatkan. Istilah pendidikan
universal pertama kali diperkenalkan UNESCO.
Untuk menyebut wajar 9 tahun, UNESCO
tidak menggunakan istilah "compulsory
basic education", melainkan menggunakan istilah "universal basic education". Pengertian
universal merupakan konsep yang
digunakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam memberikan pelayanan umum
kepada publik (public service obligation).
Selain itu, istilah wajar
mengandung unsur pemaksaan dan memiliki konsekuensi logis terkait dengan sanksi
bagi yang tidak mengikutiya. Padahal, program PMU sama halnya dengan program
wajar, hanya saja tidak diperlakukan sanksi dan tidak ada unsur pemaksaaan
kepada anak yang berusia 16-18 tahun untuk mengikutinya. Diharapkan,
penggunaaan istilah PMU dapat "mendorong" para lulusan SMP/MTs atau
yang sederajat untuk mengikuti pendidikan pada jenjang menengah. Oleh karena
itu, pelaksanaan PMU memiliki prinsip dasar: 1) menjaga mutu, kualitas lulusan
tetap dipertahankan dengan tidak terpengaruh adanya penambahan daya tampung; 2)
mempertimbangkan komposisi jumlah SMA-SMK sesuai dengan potensi dan kebutuhan
daerah; 3) pemerataan distribusi layanan pendidikan menengah untuk menjangkau
yang tidak terjangkau; 4) peningkatan kebekerjaan (employability) lulusan (khususnya SMK); dan 5) pencapaian target
APK pada tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota secara bertahap
(Ditjen. Pendidikan Menengah, 2012).
Sejalan dengan penyelenggaraan
PMU, Pemerintah akan menempuh beberapa strategi pokok pembangunan satuan
pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, peserta didik dan sistem
pembelajaran. Selanjutnya, perencanaan kebutuhan penyelenggaraan PMU yang
meliputi kurikulum dan penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana
pendidikan, penyediaan dana BOS, BSM,
BOP Paket C, bakat dan minat, yang didasarkan pada jumlah dan distribusi
penduduk usia pendidikan menengah di tingkat kabupaten/kota. Dalam
skenario pencapaian sasaran PMU, Pemerintah antara lain perlu melakukan: 1)
identifikasi perkiraan kebutuhan anggaran; 2) pembagian peran antara
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat; dan 3) perimbangan komposisi SMA dan SMK sesuai
dengan potensi daerah.
3.
Teori
Lokasi
Teori lokasi berkaitan dengan
lokasi geografis dari suatu aktivitas ekonomi. Teori lokasi dapat didefinisikan
sebagai ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan
ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-sumber yang
potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap keberadaan
berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial. (Tarigan,
2006:77, dalam
Febriyanti, 2012). Sekolah
sebagai salah satu pendukung aktivitas social, didalam pemilihan lokasinya,
sebenarnya tidak lepas dari teori lokasi ini.
Letak suatu sekolah, diharapkan
dalam suatu lokasi yang baik atau optimal. Menurut Daldjoeni (1992:61), lokasi
optimal adalah lokasi yang terbaik secara ekonomis. Model yang sederhana dari
teori lokasi adalah memperoleh keuntungan ekonomi dengan cara meminimkan biaya
transportasi. Para ahli ekonomi mempunyai kecocokan dengan model biaya
transportasi, produk yang mempunyai biaya pengiriman tinggi, cenderung sensitif
terhadap biaya transportasi (Blair, 1995 : 43). Menurut John P Blair dan Robert
Premus, dalam perkembangannya, variasi mengenai ruang di dalam ukuran pasar,
perbedaan biaya produksi, kenyamanan wilayah, kemajuan teknologi dan faktor
lain, terintegrasi ke dalam model yang kompleks dalam proses pengambilan keputusan
mengenai lokasi (Bingham dan Miered, 1993:3).
4.
Aksesibilitas
Aksesibilitas adalah salah satu
faktor yang sangat mempengaruhi apakah
suatu lokasi menarik untuk dikunjungi atau tidak. Tingkat aksesibilitas
merupakan tingkat kemudahan di dalam mencapai dan menuju arah
suatu lokasi ditinjau dari lokasi lain di sekitarnya (Tarigan, 2006). Lebih
lanjut Tarigan mengungkapkan bahwa tingkat aksesibilitas dipengaruhi oleh
jarak, kondisi prasarana perhubungan, ketersediaan berbagai sarana penghubung
termasuk frekuensinya dan tingkat keamanan serta kenyamanan untuk melalui jalur
tersebut.
Keterjangkauan suatu wilayah
dari lokasi satu ke lokasi lain dapat dilihat dari jarak wilayah dengan pusat
wilayah, frekuensi angkutan dan alat angkutan yang tersedia dari pusat wilayah,
serta jarak daerah dari jalur transportasi. Selanjutnya Malisa, 2012, (dalam Satri,
2012) sebagaimana Apabila suatu
wilayah mudah dijangkau dengan faktor –faktor penunjang diatas maka wilayah
tersebut dapat dikatakan wilayah dengan aksesibilitas yang tinggi, apabila
suatu wilayah sulit dijangkau dengan faktor – faktor penunjang diatas maka
wilayah tersebut dapat dikatakan dengan aksesibilitas rendah (malisa : 2012, dalam Satri,2012).
Selanjutnya Dalam analisis kota
yang telah ada atau rencana kota, dikenal standar lokasi (standard for location
requirement) atau standar jarak (Jayadinata, 1999: 160) . Standar lokasi
sekolah telah diatur didalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 24
Tahun 2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah Dasar / Madrasah
Ibtidaiyah (SD/MI) Sekolah Menengah Pertama/ Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs),
Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA). Ketentuan yang mempengaruhi
penentuan lokasi SMA/MA, sebagaimana tercantum
dalam lampiran Permendiknas, adalah sebagai berikut:
1.
Satu
SMA/MA memiliki minimum 3 rombongan
belajar dan maksimum 27 rombongan
belajar.
2.
Satu
SMA/MA dengan tiga rombongan belajar melayani maksimum 6000 jiwa. Untuk
pelayanan penduduk lebih dari 6000 jiwa dapat dilakukan penambahan rombongan
belajar di sekolah yang telah ada atau pembangunan SMA/MA baru.
3.
Lahan
sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota atau rencana lain yang lebih rinci dan mengikat, dan mendapat
izin pemanfaatan tanah dari Pemerintah Daerah setempat.
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis
dan Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian ada 3,
yaitu 1) Exploratory research, adalah penelitian yang bertujuan untuk mencari kejelasan
suatu masalah. 2) Descriptive research, penelitian yang bertujuan untuk mencari
deskripsi suatu objek. 3) Verificative
research (Explanatory research), penelitian yang bertujuan untuk mengetahui
kejelasan hubungan variabel. Dengan demikian jenis penelitian yang dilakukan
dalam studi ini adalah Verificative
research (Explanatory research) karena ingin mengetahui kejelasan hubungan antara APK
dengan Karakteristik Wilayah yang terdiri dari karakteristik: geografis, sarana
pendidikan, aksesibilitas, ekonomi, social dan psikologi.
Pendekatan yang digunakan dalam
studi ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pendekatan
kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif
berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat
diamati. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
karena berupaya untuk mengidentifikasi dan menggambarkan secara lebih
komprehensif mengenai motivasi dan sikap responden
terhadap keberlanjutan pendidikan ke jenjang SMA sederajat
Penelitian
kuantitatif
merupakan penelitian
yang lebih mengutamakan
pada pengumpulan data yang akan
diukur. Dalam penelitian ini pengumpulan
data kuantitatif dilakukan untuk mengetahui APK, kondisi geografis,
sarana pendidikan, Aksesibilitas, kondisi ekonomi dan kondisi social, serta
keterkaitan APK dengan karakteristik wilayah.
Dengan demikian, studi ini dapat dikatakan gabungan antara pendekatan
kualitatif dan kuantitatif agar dapat saling melengkapi.
B. Instrumen
Penelitian
Selain
menggunakan data sekunder, penelitian
ini menggunakan angket sebagai instrumen pengumpul data. Angket yang digunakan
ada 3
jenis, yaitu Jenis A adalah angket untuk orang tua, angket B untuk anak, Angket C untuk kepala
sekolah/guru SMA/sederajat.
Tabel
1.
Metode
Pengumpulan
Data
dan Sumber Data
Komponen |
Variabel |
Indikator |
Metode pengumpulan data |
Sumber Data |
Instrumen |
Pola sebaran APK
|
APK |
Jumlah siswa SMA
sederajat |
Dokumen |
BPS |
Buku Kabupaten Magelang
Dalam Angka |
Jumlah penduduk usia
skolah 16-18 tahun |
Dokumen |
BPS |
Buku Kabupaten Magelang
Dalam Angka |
||
Sarana Pendidikan |
Jumlah fasilitas
pendidikan |
Dokumen |
DISDIKPORA |
Buku profil Pendidikan |
|
Jumlah daya tamping |
Dokumen |
DISDIKPORA |
Buku profil Pendidikan |
||
Karakteristik Wilayah |
Kondisi ekonomi |
PDRB Per Kapita |
Dokumen |
BPS |
Buku PDRB |
Tingkat kemiskinan |
Dokumen |
BPS |
Data PPLS 2011 |
||
Kondisi social |
Mata Pencaharian |
Angket |
Orang tua Anak |
Angket A Angket B |
|
Tingkat pendidikan |
Angket |
Orang tua Anak |
Angket A Angket B |
||
Aksesibilitas |
Jarak |
Angket |
Anak |
Angket B |
|
|
Transportasi |
Angket |
Anak |
Angket B |
|
|
Waktu tempuh |
Angket |
Anak |
Angket B |
|
Kondisi Budaya |
Sikap |
Angket |
Orang tua Anak |
Angket A Angket B |
|
Motivasi |
Angket |
Orang tua Anak |
Angket A Angket B |
||
Kesiapan implementasi PMU |
|
|
Angket |
Kepala Sekolah/Guru |
Angket C |
C. Teknik Analisa Data
Teknik analisis data penelitian ini menggunakan program SPSS (metode
korelasi
dan tabulasi silang) dan program ArcGis 9.3.
Metode korelasi digunakan untuk
mengetahui hubungan antara APK dengan PDRB perkapita, tingkat kemiskinan,
fasilitas pendidikan, daya tampung. Metode tabulasi silang
digunakan untuk mengetahui hubungan APK dengan tingkat pendidikan, mata pencaharian
penduduk, aksesibilitas (jarak, waktu tempuh dan
fasilitas transportasi). Sedangkan program ArcGis 9.3
digunakan untuk mengetahui pola sebaran APK per Kecamatan. Untuk kondisi
budaya dianalisis dengan analisis
kualitatif dengan menggunakan angket pertanyaan terbuka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Pola Sebaran APK
APK SM
di Kabupaten Magelang Tahun 2013 sebesar 47,26 %. Angka ini lebih
rendah dibandingkan APK Provinsi Jawa Tengah sebesar 73,05 % dan APK Nasional sebesar 78,19
%. APK sebesar 47,26% disumbang oleh APK 21 Kecamatan di Kabupaten
Magelang. Secara ringkas APK masing-masing Kecamatan terlihat pada tabel
4.7
berikut
ini:
Tabel 2.
APK Per Kecamatan di Kabupaten Magelang
NO |
KECAMATAN |
JUMLAH PENDUDUK YANG
SEKOLAH DI SM |
JUMLAH PENDUDUK
UMUR 16-18 TAHUN |
APK = (3/4)*100 |
(1) |
(2) |
(3) |
(4) |
(5) |
1 |
Salaman |
2.725 |
3.440 |
79,22 |
2 |
Borobudur |
1.421 |
2.901 |
48,98 |
3 |
Ngluwar |
705 |
1.552 |
45,43 |
4 |
Salam |
3.117 |
2.319 |
134,41 |
5 |
Srumbung |
112 |
2.349 |
4,77 |
6 |
Dukun |
736 |
2.244 |
32,80 |
7 |
Muntilan |
5.034 |
3.910 |
128,75 |
8 |
Mungkid |
1.643 |
3.602 |
45,61 |
9 |
Sawangan |
184 |
2.811 |
6,55 |
10 |
Candimulyo |
432 |
2.373 |
18,20 |
11 |
Mertoyudan |
4.980 |
5.504 |
90,48 |
12 |
Tempuran |
518 |
2.426 |
21,35 |
13 |
Kajoran |
162 |
2.670 |
6,07 |
14 |
Kaliangkrik |
499 |
2.732 |
18,27 |
15 |
Bandongan |
1.248 |
2.849 |
43,80 |
16 |
Windusari |
754 |
2.430 |
31,03 |
17 |
Secang
|
928 |
3.943 |
23,54 |
18 |
Tegalrejo |
1.444 |
2.798 |
51,61 |
19 |
Pakis |
187 |
2.712 |
6,90 |
20 |
Grabag
|
1.889 |
4.266 |
44,28 |
21 |
Ngablak |
485 |
1.958 |
24,77 |
Kab.
Magelang |
29.203 |
61.789 |
47,26 |
Sumber : Buku Profil Pendidikan Kab. Magelang, data diolah
Dari
tabel tersebut dapat dilihat bahwa Kecamatan yang memiliki APK tertinggi adalah
Kecamatan Salam dengan APK sebesar 134,41 % dan APK terendah adalah Kecamatan
Srumbung dengan APK sebesar 4,77 %. Angka tersebut mengandung
arti
bahwa di Kecamatan Salam jumlah anak yang bersekolah di Kecamatan Salam lebih
besar dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 16-18 tahun. Sedangkan di
Kecamatan Srumbung, jumlah anak yang bersekolah di SMA sangat kecil
dibandingkan dengan jumlah penduduk usia 16-18 tahun.
Untuk mengetahui kategori tingkat APK tiap kecamatan,
digunakan analisa dengan menggunakan program ArcGis 9.3 dengan
metode klasifikasi Natural Breaks (Jenks).
Hasil Analisis adalah seperti gambar berikut:
Gambar 1.
Peta Kategori Angka Partispasi Kasar Tiap
Kecamatan di Kab. Magelang
2.
Keterkaitan APK
dengan Kondisi Geografis
Penelitian ini menggunakan topografi wilayah sebagai indikator
yang menggambarkan kondisi geografis. Sesuai dengan RTRW Kabupaten Magelang
tahun 2010-2030, topografi wilayah di Kabupaten Magelang dibagi menjadi 4,
yaitu : (1). Datar (kemiringan 0 – 2 %, (2). Bergelombang sampai berombak
(Kemiringan 2 – 15%), (3). Bergelombang sampai berbukit (emiringan 15-40%) dan
(4). Berbukit sampai bergunung-gunung (Kemiringan > 40%).
Untuk mengetahui keterkaitan APK dengan
Kondisi Geografis Wilayah, disandingkan kategori APK dengan topografi
wilayah. Adapun data sandingan per Kecamatan adalah
sebagai berikut :
Tabel 3.
Kategori APK dan Topografi wilayah
No |
Kecamatan |
Kategori APK |
Topografi |
1 |
Srumbung |
Rendah |
Berbukit sampai
bergunung-gunung |
2 |
Sawangan |
Rendah |
Berbukit sampai
bergunung-gunung |
3 |
Candimulyo |
Rendah |
Bergelombang
sampai berbukit |
4 |
Pakis |
Rendah |
Berbukit sampai
bergunung-gunung |
5 |
Ngablak |
Rendah |
Berbukit sampai
bergunung-gunung |
6 |
Secang |
Rendah |
Bergelombang
sampai berbukit |
7 |
Tempuran |
Rendah |
Bergelombang
sampai berbukit |
8 |
Kaliangkrik |
Rendah |
Berbukit sampai
bergunung-gunung |
9 |
Kajoran |
Rendah |
Bergelombang
sampai berbukit |
10 |
Grabag |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
11 |
Tegalrejo |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
12 |
Dukun |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
13 |
Mungkid |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
14 |
Windusari |
Sedang |
Bergelombang
sampai berbukit |
15 |
Bandungan |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
16 |
Borobudur |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
17 |
Ngluwar |
Sedang |
Bergelombang
sampai berombak |
18 |
Salam |
Tinggi |
Bergelombang
sampai berombak |
19 |
Muntilan |
Tinggi |
Bergelombang
sampai berombak |
20 |
Mertoyudan |
Tinggi |
Datar |
21 |
Salaman |
Tinggi |
Datar |
Sumber : Data sekunder,
diolah
Dari analisis di atas dapat dilihat
bahwa pola sebaran APK untuk Kecamatan yang
memiliki APK rendah terdapat di wilayah timur dan barat yang merupakan wilayah dengan
topografi berbukit sampai bergunung-gunung. Sementara
itu untuk Kecamatan yang memiliki APK tinggi berada di
posisi tengah yang merupakan wilayah dengan topografi datar
sampai bergelombang.
3.
Keterkaitan APK dengan Sarana Pendidikan
Indikator sarana pendidikan SMA sederajat pada
penelitian ini adalah jumlah sekolah SMA sederajat dan
daya tampung. Jumlah sekolah berkaitan dengan jumlah daya tampung siswa
lulusan SMP yang dapat ditampug di SMA.
Persebaran jumlah
sekolah dan daya tampung untuk masing-masing kecamatan dapat dilihat pada
gambar berikut:
Gambar 2.
Peta Jumlah Sekolah dan Jumlah Daya Tampung
Siswa
Dari analisis diperoleh
hasil
pola sebaran APK kategori tinggi berada di wilayah
kecamatan yang memiliki sekolah dan daya tampung dalam jumlah yang besar, APK
rendah pada wilayah-wilayah yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung sedikit.
Hubungan
APK dengan jumlah sekolah dan daya tampung dianalisis juga dengan menggunakan korelasi pearson.
Dengan menggunakan metode
analisis korelasi pearson diperoleh
nilai korelasi sebesar 0,742 yang berarti
bahwa antara dua variabel tersebut terdapat hubungan yang kuat. Dengan
melihat nilai signifikansi yaitu sebesar 0,000 <
0,05, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan
Jumlah Sekolah.
Untuk memperkuat analisis, dihitung juga
korelasi antara APK dengan daya tampung, diperoleh nilai korelasi pearson
sebesar 0,895. Berarti bahwa antara dua variabel tersebut
terdapat hubungan yang sangat kuat. Dengan melihat nilai signifikansi sebesar
0,000 < 0,05, berarti bahwa ada hubungan yang signifikan
antara APK dengan Daya Tampung.
Dari dua analisis tersebut di
atas dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara APK dengan jumlah sekolah dan daya
tampung. Dengan kata lain APK atau tingkat partisipasi pendidikan masyarakat dipengaruhi oleh jumlah sarana pendidikan yang ada.
APK tinggi berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah dan daya tampung
besar, sedangkan AKP rendah berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah
dan daya tampung sedikit.
Dari
analisis keterkaitan APK dengan kondisi geografis dan APK dengan jumlah sarana
pendidikan dapat diketahui pola sebaran APK berdasarkan indikator topografi wilayah, jumlah sekolah
SMA sederajat di wilayah tersebut dan daya tampung SMA sederajat diperoleh
hasil bahwa APK tinggi berada pada kecamatan yang memiliki jumlah sekolah
banyak, jumlah daya tampung siswa besar dan mempunyai topografi yang datar,
sedangkan APK rendah berada pada wilayah yang memiliki jumlah sekolah dan daya
tampung sedikit serta topografinya merupakan daerah yang bergunung-gunung.
4.
Keterkaitan APK
dengan Kondisi
Ekonomi
Untuk
melihat keterkaitan APK dengan kondisi ekonomi, dilakukan analisis korelasi
dengan melihat keterkaitan APK dengan PDRB Perapita, APK dengan pendapatan
masyarakat dan APK dengan tingkat kemiskinan. Data PDRB Perkapita menggunakan
data sekunder yang bersumber dari PDRB Kecamatan Tahun 2012 sedangkan data
pendapatan masyarakat menggunakan data primer bersumber dari kuesioner untuk
orang tua dan anak. Untuk data tingkat kemiskinan menggunakan data sekunder
bersumber dari data PPLS 2011. Dari hasil analisis diperoleh kesimpulan bahwa terdapat hubungan APK dengan
kondisi ekonomi.
5.
Keterkaitan APK
dengan Kondisi Sosial
Hasil tabulasi silang antara APK
dengan mata pencaharian penduduk diperoleh nilai Chi-Square sebesar 20,527
dengan nilai signifikansi sebesar 0,001. Karena nilai signifikansi < 0,05
maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang signifikan antara APK dengan
Pekerjaan Orang Tua, artinya bahwa ada keterkaitan antara APK dengan Mata
Pencaharian Penduduk.
Dari hasil analisis tabulasi
silang antara APK dengan tingkat pendidikan orang tua diperoleh hasil nilai
Chi-Square sebesar 19,426 dan nila signifikansi sebesar 0,001. Karena
Chi-Square hitung (19,426) lebih besar dari nilai Chi-Square tabel (9,488) dan
signifikansi sebesar 0,001 lebih kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan yang signifikan antara partisipasi sekolah dengan tingkat
pendidikan orang tua, yang berarti bahwa
ada keterkaitan antara APK dengan Tingkat Pendidikan Penduduk.
6.
Keterkaitan APK
dengan Aksesibilitas
Hasil analisis tabulasi silang
antara APK dengan jarak tempat tinggal ke sekolah diperoleh hasil bahwa nilai
Chi-Square sebesar 3,438 dan nilai signifikansi sebesar 0,179. Karena nilai
signifikansi lebih besar 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan
antara APK dengan jarak tempat tinggal ke sekolah.
Untuk
keterkaitan antar APK dengan transportasi diperoleh hasil Chi Square sebesar
11,963 dan nilai signifikansi sebesar 0,003. Karena nilai signifikansi lebih
kecil dari 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara APK dengan alat transportasi yang digunakan.
Sedangkan
untuk variabel waktu tempuh, diperoleh nilai chi square sebesar 4,539 dan nilai
signifikansi sebesar 0,33. Karena nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara partisipasi sekolah
dengan waktu tempuh ke sekolah terdekat.
Dengan
melihat hasil hubungan antara APK dengan variabel jarak, alat trasportasi dan
waktu tempuh tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara APK dengan Aksesibilitas.
7.
Keterkaitan APK
dengan Kondisi Budaya
Variabel kondisi budaya dalam penelitian ini dibatasi
pada motivasi dan sikap anak atau orang tua dalam memutuskan melanjutkan atau
tidak melanutkan ke jenjang sekolah menengah. Dari analisis data sekunder
diperoleh hasil bahwa motivasi anak dan orang tua untuk melanjutkan ke jenjang
sekolah menengah sangat tinggi namun demikian karena menentukan sikap tidak
melanjutkan karena terkendala masalah keterbatasan biaya. Ada dua kecamatan
yaitu Kecamatan Srumbung dan Sawangan, baik dari sisi orang tua maupun anak,
minat untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA sederajat masih rendah. Apabila
dilihat nilai APK, kecamatan tersebut
memiliki APK yang rendah.
8.
Kesiapan
Kabupaten Magelang dalam Menghadapi Implementasi PMU
a.
Kondisi PMU di Kabupaten Magelang
1)
Capaian APK SM di Kabupaten Magelang
APK Kabupaten Magelang berada
pada nomor urut 34 dari 35 Kabupaten/Kota di Jawa Tengah dengan APK sebesar
44,71%. Dengan capaian APK ini, Kabupaten Magelang menjadi target prioritas 1
di Provinsi Jawa Tengah untuk peningkatan akses pendidikan di tiap
kabupaten/kota. Pengelompokan tingkat capaian APK di Provinsi Jawa dalam rangka
peningkatan akses pendidikan menengah adalah sebagai berikut (Kemendikbud,2013):
1.
Prioritas
1 : tingkat capaian APK pendidikan menengah rendah dengan nilai APK kurang dari
55%
2.
Prioritas
2 : tingkat capaian APK pendidikan menengah antara 55% - 85%.
2) Persebaran
Satuan Pendidikan
Di Kabupaten Magelang terdapat 95
SMA/SMK/MA, yang terdiri dari 35 SMA, 42 SMK dan 18 MA. Kecamatan dengan jumlah
satuan pendidikan menengah tertinggi adalah Kecamatan Muntilan dengan 16
sekolah dan terendah adalah Kecamatan Srumbung, Kecamatan Pakis, Kecamatan
Ngablak, Kecamatan Tempuran masing-masing 1 sekolah.
Apabila dibandingkan dengan
jumlah SMP/MTs menunjukkan bahwa rasio jumlah SM terhadap SMP di kecamatan sangat
bervariasi. Tabel 3.2 menunjukkan hasil analisis rasio jumlah SM terhadap
jumlah SMP. Berdasarkan hasil analisis rasio diperoleh hasil bahwa rasio paling
kecil ada di Kecamatan Srumbung, Tempuran, Kajoran, Pakis dan Ngablak.
Kecamatan Muntilan memiliki rasio yang tinggi yaitu sebesar 0,89.
Berdasarkan analisis rasio jumlah
daya tampung terhadap jumlah lulusan SMP diperoleh hasil bahwa di Kabupaten
Magelang jumlah lulusan SMP yang dapat ditampung di SMA baru sebesar 76%. Artinya masih ada 24% siswa
lulusan SMP yang tidak dapat ditampung di SMA di Kabupaten Magelang. Hal ini
berarti di Kabupaten Magelang masih memerlukan tambahan satuan pendidikan untuk
dapat menampung 100% lulusan SMP. Kecamatan yang kritis adalah kecamatan
Srumbung, Sawangan, Kajoran dan Pakis
3) Kualifikasi
Pendidik
Kualitas guru sangat penting
dalam rangka menghasilkan lulusan yang bermutu dan kompeten. Kualifikasi guru
SM di Kabupaten Magelang kondisinya sudah cukup bagus. Dari sebanyak 2.383 guru
SM, 2.021 orang telah berkualifikasi S1/D4 dan sebanyak 96 orang telah berkualifikasi
S2 dan S3. Namun demikian masih ada yang berkualifikasi D1/D2/D3 sebanyak 266
orang.
Dengan demikian persentase guru SM yang telah memiliki
kualifikasi > S1/D4 di Kabupaten Magelang sudah cukup tinggi yaitu sebesar
88,84%.
b. Kesiapan
Menghadapi PMU di Kabupaten Magelang
Untuk mengetahui kesiapan dalam
menghadapi PMU, dalam penelitian hanya digunakan sampel dari kepala
sekolah/guru dikarenakan dalam penelitian ini
digokuskan pada analisis APK. Jumlah
sampel sekolah
dilakukan dengan cara kuota. Daerah yang jumlah sekolah SMA sederajat banyak,
diambil sampel dengan perbandingan 1:3. Maksudnya tiap 3 sekolahan di daerah
tertentu, diambil satu sampel yang memadai. Sekolah yang dijadikan sampel
sebanyak 13 sekolah, yang komposisinya adalah sebagaimana table dibawah :
Berdasarkan angket terbuka, dianalisis data responden
untuk mengetahui kendala dan kesiapan SMA sederajat dalam implementasi PMU di
Kabupaten Magelang. Dari hasil analisis data primer, diperoleh informasi sebagai berikut :
1)
Sekolah mengalami kendala dalam hal pembiayaan terhadap implementasi PMU.
2)
Budaya masyarakat untuk menyekolahkan putra-putrinya sampai jenjang SMA
sederajat belum optimal.
3)
Belum optimalnya minat anak untuk melanjutkan sekolah ke jenjang SMA
sederajat.
4)
Kurangnya sosialisasi pentingnya
pendidikan
jenjang SMA sederajat.
5)
Terbatasnya sarana dan prasarana.
6)
Kurikulum yang sering berganti-ganti.
7)
Transportasi yang masih sulit di daerah-daerah tertentu.
8)
Perlu bantuan ke sekolah berupa beasiswa untuk siswa miskin dan sarana praktek.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis dan
pembahasan dalam bab sebelumnya, diambil kesimpulan sebagai berikut:
1.
Berdasarkan analisis Arc Gis,
disimpulkan ada 9 Kecamatan di Kabupaten Magelang yang memiliki tingkat APK
rendah, 8 Kecamatan APK sedang dan 4 Kecamatan dengan APK tinggi.
2.
Pola sebaran APK SMA sederajat di Kabupaten Magelang :
a.
APK SMA sederajat rendah berada di Kecamatan
dengan topografi berbukit sampai bergunung-gunung,
jumlah sarana pendidikan sedikit dan daya tampung sekolah sedikit. Kecamatan yang
memiliki APK rendah berada di wilayah
timur dan barat yang merupakan wilayah dataran tinggi karena berada di lereng
gunung, yaitu gunung Merapi dan Merbabu di sisi timur dan Gunung Sumbing di
sisi barat.
b.
APK SMA sederajat tinggi berada di Kecamatan
dengan topografi datar atau bergelombang sampai berombak, jumlah sarana
pendidikan banyak dan daya tampung banyak. Kecamatan yang memiliki APK tinggi
berada di sisi selatan yang merupakan wilayah dataran rendah dan sebagian besar di wilayah tengah
yang berada di jalur jalan arteri Semarang-Yogyakarta yang merupakan jalur strategis dan
cepat tumbuh.
3.
Berdasarkan analisis korelasi dan tabulasi silang
diketahui bahwa terdapat hubungan antara APK dengan karakteristik wilayah yang
meliputi karakteristik ekonomi, karakteristik sosial, aksesibilitas dan kondisi
budaya.
a.
Karakteristik Ekonomi
1)
Terdapat hubungan yang
signifikan antara APK dengan Pendapatan
2)
Terdapat hubungan yang kuat antara
APK dan tingkat
kemiskinan
b.
Kondisi sosial
1)
Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan tingkat pendidikan penduduk
2)
Terdapat hubungan yang
signifikan antara APK dengan mata pencaharian penduduk
c.
Aksesibilitas
1)
Tidak terdapat hubungan antara APK dengan jarak.
2)
Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan alat transportasi.
3)
Terdapat hubungan yang signifikan antara APK dengan waktu tempuh.
d. Motivasi orang tua dan anak untuk menempuh
jenjang pendidikan SMA Sederajat tinggi, namun mereka mengambil sikap untuk
tidak melanjutkan sekolah karena kemampuan ekonomi kurangnya kesadaran akan
pentingnya pendidikan SMA Sedarajat terutama di Kecamatan Srumbung dan
Sawangan.
e. Kabupaten Magelang masih perlu mempersiapkan
banyak hal dalam rangka implementasi PMU.
B. Rekomendasi
Dari kesimpulan di atas
disampaikan rekomendasi kebijakan sebagai berikut:
1.
Perlu pemerataan sarana pendidikan pendidikan
jenjang SMA sederajat yaitu dengan penambahan jumlah unit sekolah baru, ruang kelas baru dan
atau kejar paket C di daerah yang
memiliki APK rendah. Hal ini sesuai dengan amanat pasal 4 Permendikbud
Nomor 80 Tahun
2013 tentang PMU yang mengamanatkan bahwa di setiap wilayah kecamatan minimal terdapat 1
sekolah jenjang pendidikan Menengah.
2.
Perlu bantuan penyelenggaraan pendidikan bagi
sekolah-sekolah swasta untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan.
3.
Perlu bantuan bagi siswa dari keluarga tidak mampu
agar dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah.
4.
Perlu peran serta masyarakat dan dunia usaha dalam
rangka peningkatan partisipasi sekolah menengah.
5.
Perlu sosialisasi kepada masyarakat dalam rangka
meningkatkan kesadaran dan pemahaman akan pentingnya pendidikan menengah.
6.
Diperlukan penambahan jalur angkutan umum untuk
melayani jalur yang melewati sekolah menengah agar akses ke sekolah lebih
mudah.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, 2006, perencanaan
pembangunan wilayah, bumi aksara, Jakarta.
Jayadinata, Johara, T, 1999, Tata
guna tanah dalam perencanaan pedesaan, perkotaan, dan wilayah,
Penertib ITB.
Satri, Desi et.al, 2012, Evaluasi sebaran lokasi fasilitas
pendidikan terhadap tempat tinggal peserta didik sekolah menengah pertama /SMP
dan sekolah menengah atas/SMA di Kota Solok, Program Studi Pendidikan Geografi
FIS Universitas Negeri Padang.
Febriyanti, A Dita, 2012, Implikasi Teori Lokasi Terhadap Penentuan
Lokasi Industri di Kompleks SIER Surabaya, http://edukasi.kompasiana.com/2012/04/29/implikasi-teori-lokasi-terhadap-penentuan-lokasi-industri-di-kompleks-sier-surabaya-458428.html
Siregar, Hermanto dan Wahyuniarti, Dwi, 2006, Dampak Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Penurunan Jumlah Penduduk Miskin. Institut
Pertanian Bogor, Brighten Institute.
Wiguna, Van Indra, 2013, Analisis Pengaruh PDRB, Pendidikan, dan Pengangguran Terhadap
Kemiskinan di Provinsi Jawa
Tengah, Universitas Brawijaya, Malang
Windarto, Rony, 2013, Minat Siswa
SMP Negeri Melanjutkan ke SMK Ditinjau
Dari Sosial Ekonomi Keluarga di
Kabupaten Bantul, Jurnal Pendidikan
Vokasi, Vol 3, Nomor 1, Februari 2013, Program Studi Pendidikan Teknologi dan
Kejuruan PPs UNY.
Rondinelli, Dennis, A, 1985,
Applied methods of regional analysis the spatial dimensions of development
policy, westview press/boulder and london
Blair, John P, 1995, Local Economic Development,
Analysis and Practice, SAGE Publication.
http://repository.upi.edu/833/4/T_ADPEN_009712_Chapter1.pdf, tanggal diakses, 14 Juni 2014.
Kompas, 17 April 2001
dan Septiana, 2008
Created At : 2017-12-29 00:00:00 Oleh : Aswandi SSi, MT dkk Berita Terkini Dibaca : 2988