AGROPOLITAN SOLUSI DUALISME EKONOMI


Created At : 2019-08-22 00:00:00 Oleh : Dhanik Konten khusus Dibaca : 2029


          Pada mulanya ketimpangan kesejahteraan antara kota dengan desa. Faktanya, kemampuan memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa kebutuhan masyarakat Kab. Magelang tahun 2017 hanya sepertiga kemampuan Kota Magelang. Produksi barang dan jasa perkapita pertahun Kab. Magelang Rp.21,92 juta, sementara Kota Magelang Rp.62,68 juta.

         Jika dikaji lebih jauh dalam ketimpangan ini terkandung ketidakmerataan antar sektor, yaitu antara sektor industri dan jasa dengan sektor pertanian. Kemampuan produksi di sektor pertanian per tenaga kerja hanya sebesar Rp.24,50 juta/tahun. Sementara, kemampuan produksi secara total per tenaga kerja hanya sebesar Rp.38,83 juta/tahun.

           Secara makro kinerja sektor pertanian, terendah dibandingkan sektor lain. Pada tahun 2017  sektor pertanian mengalami pertumbuhan yang paling rendah (1,86%) jauh dibawah pertumbuhan ekonomi secara total sebesar 5,06%. Dengan demikian kontribusi sektor pertanian juga terus menurun. Jika pada tahun 2013 kontribusi sektor pertanian sebesar 22,91% menjadi 20,71%. Namun, walaupun mengalami penurunan, lapangan usaha pertanian tetap sebagai lapangan kerja terbesar.   Jika pada tahun 2013 sektor pertanian mampu menampung 38,33% angkatan kerja, maka pada tahun 2017 menurun menjagi 34,52%.

Kinerja pembangunan pedesaan/pertanian yang kurang ceria, dampak dari strategi pembanguan, baik strategi trickle down effect maupun growth poles. Hasil kajian membuktikan bahwa kedua strategi tersebut bias atau lebih menguntungkan kota dan/atau sektor industry dan jasa, sebagai berikut.

Pertama. Berkembangnya kota sebagai pusat pertumbuhan ternyata tidak memberikan trickle down effect, tapi justru menimbulkan efek pengurasan sumberdaya (backwash effect) dari wilayah sekitarnya. Kedua. Terbukanya akses ke daerah perdesaan akan mendorong elit kota, perusahaan besar, untuk mengeksploitasi sumberdaya yang ada di desa, sedangkan masyarakat desa sendiri tidak berdaya karena secara politik / ekonomi para pelaku eksploitasi miliki posisi tawar yang kuat. Ketiga. Kawasan perdesaan dihuni oleh SDM dan kelembagaan yang lemah, menjadi penyebab terjadinya backwash effect atau mengalirnya. Anti tesis dari trickle down effect maupun growth poles adalah agropolitan.

Agropolitan (Kota-Tani), secara definisi adalah kota pertanian yang ditumbuh-kembangkan sebagai sistem dan usaha agribisnis serta mampu melayani, mendorong, menarik, menghela kegiatan pembangunan pertanian (sektor usaha pertanian dalam artian luas) di wilayah sekitarnya.

Sebagai strategi, memiliki tesis bahwa perdesaan memerlukan fasilitas-fasilitas setara kota. Untuk itu intervensi pemerintah dapat dilakukan melalui penataan ruang dan investasi publik yang memberikan insentif dan disinsentif dalam membentuk struktur dan pemanfaatan ruang yang sesuai dengan konsep Agropolitan.

Intervensi pemerintah dimaksud, adalah bersifat fisik dan SDM. Intervensi fisik meliputi penyediaan permukiman dan infrastruktur serta fasilitas sosial seperti rumah, masjid, taman kanak-kanak, puskesmas, aula, taman bermain, dan bengkel bisnis, saluran air dan drainase, jalan-jalan di permukiman serta air dan listrik.

Pengembangan Sumber Daya Manusia menyasar pada kepala rumah tangga pada aspek kepemimpinan masyarakat, keluarga, spiritual, kemandirian dan kewirausahaan. Sementara anggota rumah tangga juga disasar pada peningkatan akademik melalui pemberian bea siswa dan penyediaan fasilitas pendidikan.

Sebagai bentuk penerapan teknologi, agropolitan Merapi Merbabu dikembangkan sejak 2005-2009, dengan icon STA (sub terminal agropolitan) Sewukan dan Ngablak, dan agropolitan Sindoro Sumbing dengan icon STA Kaliangkrik, dijadikan lokus evaluasi oleh Bidang Penelitian dan Pengembangan Bappeda Prov. Jateng. Metode evaluasi yang digunakan adalah FGD (focussed group discussion). Tim evaluator terdiri dari Alfina Handayani SP MSi, Dr. Rachman Djamal MS, Dr Ir Budi Adi Kristanto MS, dan Dr. Komalawati SP M.Ph. Sebagai narasumber dari Kab. Magelang: Bappeda, Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan, Dinas Peterikan, Dinas Permades, Penyuluh Pertanian dan pengelola STA Sewukan.

Tiga pertanyaan untuk didiskusikan: sejauhmana agropolitan Magelang berkesesuaian (compliance) dengan norma dan standar, sejauhmana program pendukung agropolitan dijalankan, dan apa kendala yang dihadapi.

Program/kegiatan  pendukung antara lain: pengembangan PASAR, PUAP, FEATI dan PRIMATANI. Pertama. Pasar agar berfungsi sebagai pengerak/lokomotif bagi rangkaian gerbong AGRIBISNIS, yang meliputi: Info Pasar, Jaringan Pasar, Tata Niaga, Bargaining Jaminan Pasar,  membutuhkan dukungan berupa: Teknologi Informasi, Bimbingan, Alih Teknologi, Infrastruktur.

Kedua. PUAP adalah Program pemberdayaan masyarakat berbentuk BLM / bantuan permodalan usaha melalui Gapoktan dalam 3 tahap pelaksanaan yaitu : pengelolaan usaha produktif (tahun I), usaha simpan pinjam (tahun II) dan pembentukan LKM-Agribisnis (tahun III).

Ketiga. FEATI adalah Program Pemberdayaan Petani melalui Informasi dan Teknologi, bertujuan meningkatkan produktivitas, pendapatan dan kesejahteraan petani melalui pemberdayaan keluarga petani dan organisasi petani mengakses informasi, teknologi, modal, saprodi untuk mengembangkan agribisnis dan kemitraan dgn sektor swasta melalui Farmer Manage Activity (FMA) dgn kegiatan berupa Pelatihan manajerial, leadership dan kewirausahaan

Keempat. PRIMATANI adalah Program Rintisan dan Akselerasi PemasyarakatanInovasi Teknologi Pertanian yang dimulai tahun 2007, merupakan proses diseminasi inovasi teknologi pertanian agar dapat berjalan secara cepat dan tepat, sesuai dengan karakteristik spesifik lokal16Sosialisasi programPenetapan kawasan di daerah Kab./KotaInventarisasi dan identifikasi di kawasan wilayah binaanMenyusun rencana pengembangan kawasan agropolitan jangka panjang. Apakah ke-empat program/kegiatan ini masih dilaksanakan?

Dikusi terkait pertanyaan ketiga, terpengaruh judul acara: evaluasi penerapan teknologi agropolitan, nara sumber cenderung membahas kebutuhan teknologi untuk pengembangan agropolitan. Pengelola STA Sewukan menyampaikan bahwa omset STA yang mencapai Rp.70 milyar per hari, dimana pembayaran dari pedagang besar dilakukan melalui transfer antar rekening bank, kesulitan yang dihadapi adalah tiadanya kantor cabang bank yang dekat dengan STA.

Ketiadaan kantor cabang bank, memunculkan masalah perlunya inklusi perbankan, agar transaksi antar pedagang besar dan pedagang pengumpul dapat dilakukan melalui transaksi antar rekening. Lebih lanjut, kebutuhan itu mengait pada penerapan teknologi keuangan (tekfin), misalnya e-money. Dengan demikian, transaksi antara petani => pedagang pengumpul => pedagang besar, dapat dilakukan secara non-tunai, sehingga kendala jarak dan waktu ke bank dapat dipangkas. Lebih istimewa lagi, jika STA mulai dikenalkan pada pemanfaatan pasar berjangka komoditas (future trading).

              Diskusi berlanjut, ke masalah penguasaan teknologi informasi oleh para pedagang, utamanya untuk dapat memantau pergerakan harga komoditas dari waktu ke waktu. Selanjutnya, dikemukana tata usaha tani. Disampaikan bahwa pada saat ini pola tanam tumpang sari, dimana dibudidayakan pada lahan yang sama pada waktu bersamaan, diganti dengan budidaya lebih dari dua jenis tanaman pada lahan yang sama pada waktu bersamaan atau disebut pola tanam tumpang tindih.

Menurut Dr. Komalawati masalahnya adalah, apakah terhadap usaha tani/pola tanam tumpang tindih ini telah dilakukan analisis usaha tani?. Adakah peningkatan produktivitas per satuan lahan?. Adakah peningkatan kesejahteraan petani?.

Pertanyaan inspiratif untuk melihat kembali konsep ‘involusi pertanian’ (agricultural involution) maha karya ilmuwan mashur Clifford Geertz berjudul Agricultural involution: the process of ecological change in Indonesia (1963). Lawan katan ‘involusi’ adalah evolusi yang mengandung arti berkembang, sehingga involusi artinya mengkeret.

Intinya, arsitektur ekonomi Indonesia adalah ‘dualisme’. Di satu sisi ekonomi modern (industri-perdagangan) yang mendapat fasilitas tanpa batas, di sisi lain ada sektor pertanian yang dibiarkan berlangsung sekedar secukup hidup (subsistence).

Bangun ini tercipta sejak colonial Belanda melaksanakan program ‘Tanam Paksa’ (Kultur Stelsel atau Culture System), yang sejatinya sebuah sistem imperialis untuk secara paksa diterapkan untuk eksploitasi, melalui lembaga kerja paksa (dan perpajakan) dan sistem kepemilikan tanah yang hanya menguntungkan pemerintah Belanda dan pemilik perusahaan besar.

Saat ini, ketika institusi ekonomi dan industri, dan kelas menengah perkotaan yang tumbuh pesat, namun tetap berpijak pada bangun mekanisme korporatisme multinasional yang sangat diuntungkan dan perlakuan tidak adil (fair) pada sector pertanian, yang melanggengkan kemiskinan di daerah pedesaan dan menghancurkan ekologi (Colin McCullough, 2019). Buktinya, silahkan membaca tulisan ini dari awal. (Kontributor: Budiono, Perencana Madya pada Bappeda dan Litbangda)

GALERI FOTO

Agenda

Tidak ada acara